bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Selasa, 26 Agustus 2008

anggaran ke daerah(dimuat di harian Suara Merdeka 4 September 2008)

AKSELERASI PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH
Oleh
Arif Budy Pratama

Anggaran merupakan salah satu sumberdaya yang menempati peran sentral dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. APBN 2009 mengalokasikan pagu anggaran yang relatif besar ke daerah yaitu Rp.303,9 triliun. Nominal ini naik dibanding tahun ini yang hanya Rp. 292,4 triliun. Pengalaman pada tahun 2007, anggaran ini tidak terserap secara maksimal oleh pemerintah daerah sehingga sisa anggaran mencapai Rp.45 triliun. Sampai saat ini, banyak Pemda yang masih menyimpan dananya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau di Bank Pembangunan Daerah.
Sisa anggaran ini terjadi karena lemahnya penyerapan anggaran yang disebabkan oleh berbagai faktor.Pertama, adanya sindrom takut menggunakan anggaran. Pemda merasa takut mencairkan dan menggunakan anggaran karena super ketatnya pengawasan penggunaan anggaran oleh berbagai macam instansi pemerintah mulai dari inspektorat/bawasda, BPKP, BPK dan bahkan KPK. Belum lagi pengawasan eksternal dari masyarakat, media massa dan lembaga legislative. Sebenarnya pengawasan yang ketat ini baik untuk mengurangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintah, tetapi kalau dalam pelaksanaannya terkesan ekstrem dan berlebihan akan berdampak pada takutnya pengguna anggaran untuk mencairkan dan menggunakan anggaran.
Kedua, mata rantai yang panjang dalam birokrasi penganggaran muali dari penyusunan APBN sampai pencairan anggaran. Dalam proses perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran biasanya baru dilaksanakan pada bulan April atau Mei tidak pada awal tahun anggaran (Januari-Februari). Dengan demikian, implementasi pelaksanaan anggaran sebenarnya tidak satu tahun anggaran secara penuh (12 bulan) tetapi hanya efektif 8-9 bulan saja. Selanjutnya dalam proses pencairan pun rantai birokrasi yang harus dilalui juga terlalu panjang.

Implikasi Macetnya Penyerapan Anggaran
Macetnya penyerapan anggaran ini berimplikasi negatif terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan di daerah dan lingkup nasional. Kondisi ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara makro. Mengapa? Karena aktivitas perekonomian daerah dipengaruhi oleh pengeluaran pemrintah (government spending) dalam pembiayaan pembangunan daerah yang melibatkan dunia usaha. Kalau penyerapan anggaran daerah ini macet, akan terjadi kelesuan pembangunan dan menurunnya investasi di daerah. Sebaliknya jika penyerapan anggaran pembangunan daerah lancar, akan tercipta aktivitas, pertumbuhan ekonomi dan merangsang investasi di daerah serta terwujudnya mekanisme trickle down effect di daerah.
Implikasi yang mungkin timbul dari internal birokrasi Pemda adalah penggunaan dana rutin yang sangat kentara. Belanja pembangunan yang notabene adalah belanja yang konkret untuk pembangunan dan pelayanan publik (masyarakat) sering tidak terpakai secara maksimal. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa birokrasi pemerintah yang hanya melakukan kegiatan operasional untuk membiayai kegiatan-kegiatan rutin untuk dirinya sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat dan pelayanan publik.
Pencitraan semacam ini semakin memperburuk image birokrasi pemerintah di mata masyarakat kita. Padahal ada banyak problematika yang menjadi pemicu rendahnya kinerja birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak selalu disebabkan oleh faktor internal birokrasi. Salah satunya adalah rendahnya penyerapan anggaran ke daerah yang disebabkan oleh berbagai macam hambatan yang sifatnya sistemik maupun prosedural seperti yang penulis bahas diatas.

Harus Berbenah
Menyikapi rendahnya penyerapan anggaran ke daerah yang menyebabkan berbagai implikasi negatif terhadap pembangunan di daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan berbagai pembenahan dalam beberapa aspek sistem penganggaran kita. Pertama, Pemerintah harus mempercepat proses perencanaan penganggaran dalam penyusunan dan pembahasan APBN, sehingga implementasi pelaksanaan bisa efektif satu tahun anggaran (10-11 Bulan). Kedua, Departemen Keuangan harus segera melakukan simplifikasi prosedur dalam rangka pencairan anggaran ke daerah. Prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit akan mempermudah Pemda untuk mencairkan anggaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk pembangunan di daerahnya. Ketiga, mutlak diperlukan pengembangan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam hal penganggaran. Dengan adanya kapasitas yang memadai, akan terhindar dari sindrom “takut” menggunakan anggaran karena para pengguna anggaran di daerah sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi untuk mengelola anggaran.
Dalam kerangka kebijakan desentralisasi, daerah otonom diberi keleluasaan yang besar untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk dalam pengelolaan keuangan negara baik itu dana desentralisasi, dekonsentrasi maupun medebewind. Dengan demikian, bandul pengelolaan dan pelaksanaan anggaran sebenarnya sudah berada di daerah. Sekarang, tinggal bagaimana administrator publik di daerah mengelola anggaran tersebut.
Paradigma manajemen pemerintahan saat ini mengarah pada bagaimana pemerintah tidak hanya menghabiskan anggaran tetapi bagaimana pemerintah bisa mengelola anggaran tersebut untuk melayani masyarakat dengan pelayanan prima atau bahkan menghasilkan profit yang nantinya akan dikembalikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Arif Budy Pratama, S.AP, Alumnus Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro, sekarang bekerja di Biro Perencanaan dan Organisasi Kemenko Polhukam RI, Tulisan ini merupakan Pendapat Pribadi

1 komentar:

Anonim mengatakan...

setuju dg penulis bahwa pemanfaatan sdm, sda, serta dana yang ada didaerah ataupun pusat kurang maksimal,koordinasi serta takut boleh tapi jangan ketakutan...
asal penggunaan dana jelas tujuan, manfaat nyata serta tidak manipulasi kenapa musti takut........