bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Senin, 18 Agustus 2008

belum terbaca oleh seseorang selain aqu

Reformasi Birokrasi Indonesia : Suatu Keharusan

Oleh

Arif Budy Pratama

Setelah drama reshuffle berakhir kini tinggal kita lihat akting aktor-aktor baru dalam panggung pemerintahan Indonesia. Sejalan dengan pendapat aliran sosiologi klasik dramaturgi yang dipelopori oleh Erving Goffman (1959) bahwa sesungguhnya manusia sebagai makhluk sosial merupakan aktor yang bertindak sebagai tanggapan langsung dari rangsangan sosial yang melembaga. Begitu juga dalam interaksi sosial para menteri baru yang baru saja mendapatkan amanah dari presiden. Apakah para menteri baru bisa menjalankan perannya sebagai aktor utama dalam departemen atau kementeriannnya untuk meningkatkan kinerja departemen atau kementerian yang dipimpinnya?

Yang lebih urgent sekarang menurut penulis adalah bagaimana memeperbaiki kinerja birokrasi kita dari level bawah. Dengan mengganti top manager di dalam departemen atau kementerian saja dirasa tidaklah cukup untuk meningkatkan kinerja birokrasi karena pada kenyataannya adalah street level beaureaucrat atau pegawai negeri tingkat bawahlah yang berhubungan langsung dengan masyarakat bukan para menteri maupun deputinya.

Ketika dalam birokrasi itu dimasukkan pejabat politik seperti sistem pemerintahan kita saat ini, maka timbul pula suatu pertanyaan tentang hubungan antara keduanya. Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan dan kontinyu antara fungsi kontrol dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi yang didengungkan oleh Wodrow Wilson, Bapak Administrasi Negara dari Amerika Serikat. Dengan demikian akan terjadi kecenderungan praktik-praktik mal-administrasi yang menjadi patologi birokrasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang saat ini semakin jelas terlihat.

Kondisi birokrasi Indonesia Saat ini

Sejarah birokrasi Indonesia dimulai ketika perang kemerdekaan usai. Sistem Administrasi Negara Indonesia segera dibentuk untuk menggantikan sistem administrasi kolonial Belanda. Pegawai-pegawai pada sistem administrasi kolonial digantikan oleh pegawai-pegawai Indonesia. Akibatnya terjadilah perekrutan besar-besaran untuk mengisi kekosongan pos-pos yang ditinggalkan oleh pegawai-pegawai pemerintah kolonial Belanda. Rekruitmen tidak didasarkan oleh keahlian atau merit system dan dengan sumber daya yang belum memadai. Patronage, nepotisme dan feodalisme masih cukup melekat dalam sistem Administrasi Negara Indonesia waktu itu. Birokrasi berkembang menjadi sangat besar dan nilai-nilai tradisional masih ikut mewarnai kehidupan birokrasi. Saat ini jumlah pegawai negeri tidak lagi proporsional dengan perbandingan jumlah.

Dari sisi budaya, pengaruh budaya politik amat kentara dalam budaya birokrasi Indonesia. Budaya paternalistik dan feodalisme yang sangat mewarnai dan telah merasuki budaya birokrasi di Indonesia. Sistem perencanaan yang sentralistis dan amat detail telah mengurangi ruang gerak para pegawai untuk berinisiatif dan melakukan inovasi. Kriteria pengawasan yang mengandalkan ketaatan terhadap sistem dan prosedur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penekanannya masih pada audit terhadap pertanggung jawaban keuangan telah memacu munculnya formalitas dalam pengawasan dan pertanggungjawaban pekerjaan.

Secara riil kinerja birokrasi Indonesia memang masih mengecewakan. Dalam penelitiannya, Prof. Agus Dwiyanto dari UGM (2002) terlihat bahwa capaian capaian birokrasi dalam produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, dan akuntabilitas masih sangat rendah.

Dimensi Reformasi Birokrasi

Selanjutnya kita akan mencoba menelaah dua dimensi reformasi birokrasi di Indonesia yaitu: dimensi struktural dan dimensi kultural. Dalam dimensi struktural, lebih pada penataan yang sifatnya kelembagaan, manajemen, dan organisasional yaitu meliputi sistem rekruitmen, sistem promosi, perubahan struktur dan tata kerja, penggajian, dan pengawasan dalam birokrasi. Reformasi dari sisi struktural saja akan sia-sia jika tidak diikuti oleh transformasi budaya. Distorsi budaya feodal birokrasi sudah seharusnya ditinggalkan oleh birokrat kita. Feodalisme sudah tidak relevan lagi di alam demokrasi seperti saat ini. Pendekatan budaya menjadi subject matter dan strategi dalam upaya menyuntikkan “virus” budaya baru dalam tubuh gembrot birokrasi kita.

Reformasi birokrasi harus bermula dari orang nomor satu di negeri ini. Political will menjadi prasyarat dalam upaya memperbaiki birokrasi kita. Beliau harus menjadi pusat gerakan nasional reformasi birokrasi. Sebagai perbandingan, Korea Selatan telah melakukan reformasi birokrasi sejak dekade 80-an. Beberapa langkah reformasi diantaranya: program civil servant gift control, civil servant conciousness reform movement, social purification movement.

Pada masa pemerintahan Roh Tae Woo tahun 1988 program ini diperkuat melalui deregulasi dan simplifikasi prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat, dan optimalisasi Komisi Reformasi Administrasi. Usaha Korea selatan ini tidaklah sia-sia. Kita bisa melihat bagaimana Korea Selatan menjadi pesaing Jepang di Asia karena birokrasinya bersih, profesional, dan berwibawa sehingga memudahkan arus investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Belajar dari kasus Korea Selatan lagi-lagi komitmen, visi, dan political will pemimpin bangsa menjadi faktor kunci keberhasilan reformasi birokrasi disamping kemauan para pelayan masyarakat kita untuk men-transformasi budaya birokrasi patrimonial menjadi budaya birokrasi yang profesional dan berwibawa. Semoga akan ada suatu gerakan nasional reformasi birokrasi di Indonesia.

_Arif Budy Pratama, Pegiat Komunitas Administrasi Publik Progresif FISIP UNDIP

Tidak ada komentar: