bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Minggu, 17 Agustus 2008

ini tulisan aku waktu aku kkn di demak.......

RAJA KECIL DI DESA

( Studi Tentang Dinamika Kekuasaan Di Suatu Desa Pesisir Jawa Tengah)

ABSTRACT

Oleh

Arif Budy Pratama

Local democration and good local governance have become an interesting matter in social science. These always collerated with power. We can say that there is a society there is power in it. Local here means village. Why vilage? As we know in Indonesia, the teritory of village is wider than the city. Central Java as a sample, it has approximately 92% rural area. So most of Central Java people always interact with village government. More over, there were stereotypes and paradigms about villagers: pragmatic, Romantic, dominative, harmonic, inferior, and fatalic stereotype about villager.

The problem of the research is how was the phenomena and dinamization of the centered power in village. Then, the goals is to know about the centered power in the research locus and the factor affecting this phenomena. The use of this research is to apply the lesson we get from the university and it can contribute the development of social science especially in rural studies. In practical use is to help the society how to reduce the centered power that can affect the democratization in village.

In teorytical foundation, the writer uses the Schemerhorn’s concept of power. It explains about the definition of power, the sources and the uses of power, the elements of power, and the growth of power. Then the writer tries to look for people control and social control by Endriatmo Soetarto. It says abot the relation of government control and people control in society. To analyse the centered power the writer use the concept of democracy by Dahl and David Betham, also the check and balance in Locke and Montesqieu perspective.as an operational concept the writer uses The constitution number 32/2004 about village government.

In writing method, the writer accumulates the information with following steps : getting in, getting along, and logging the data. When logging the data the writer do as foloowing activities : indepth interview, observation, and text book studies. To check the validity of the information the writer observes the locus again and again, peer debriefing, and cross check the answers.

In the research locus, the writer found that the power of the chief village is the combination between democratic and feodalism. The sources of power gained from military, economic, and tradition.The magic aspect has also affected the power phenomena in village. The power also transformates from one form to another.if we analyse from the elements, we find that “the affraid” affecting people in relation with chief village. The centered power can be seen in following matter: the policy is come from the chief village initiative, and he is uncriticize.

The factor affecting centered power in research locus are : the disfunctional of village council, the gap of people control and social control, the lack of people voice.

The recomendation of this research is how to develop the civil society in village to reduce the centered power and attain the good village governance. The political education must be developed, how to improve the awareness of the people participation. In addition, there must be an agent of change in village to be a pioneer in good village governance. Last but not least, it need a concern from the external actor: the intelectual, NGO, Head Region, etc in rural development.

Key words : Power, good village governance

Pendahuluan

Saat ini demokrasi lokal dan good governance di tingkat lokal (baca: desa) menjadi interest tersendiri dalam disiplin ilmu-ilmu sosial. Mengapa desa? Ada beberapa pertimbangan dan alasan mengapa penelitian di aras desa dan hal-hal yang berbau lokalisme menjadi interest tersendiri. Pertama, di Indonesia wilayah dan jumlah pedesaan lebih besar daripada perkotaan. Data dari BPS Jawa Tengah dapat dijadikan sample wilayah desa lebih banyak daripada kelurahan. Dengan demikian eksisitensi pemerintahan desa lebih banyak di Jawa Tengah. Berikut ini tabel jumlah desa dan kelurahan di Jawa Tengah berdasarkan Kabupaten/Kota tahun 2005

Tabel Pembagian Desa dan Kelurahan di Jateng

Kabupaten/Kota

Desa

Kelurahan

Persentase desa (%)

Cilacap

269

15

98,1

Banyumas

301

30

90,9

Purbalingga

223

15

93,6

Banjarnegara

266

12

95,6

Kebumen

449

12

97,3

Purworejo

469

25

90,2

Wonosobo

236

28

89,3

Magelang

367

5

98,6

Boyolali

263

4

98,5

Wonogiri

251

43

85,3

Karanganyar

162

15

91,5

Sragen

196

12

94,2

Grobogan

273

7

97,5

Blora

271

24

91,8

Rembang

287

7

97,6

Pati

400

5

98,7

Kudus

124

7

94,6

Jepara

182

11

94,3

Demak

241

6

97,5

Semarang

208

67

75,6

Temanggung

266

23

92,0

Kendal

265

20

92,9

Batang

236

9

96,3

Pekalongan

270

12

95,7

Pemalang

211

11

95,0

Tegal

281

6

97,9

Brebes

292

5

98,3

Kota Magelang

0

14

0

Kota Surakarta

0

51

0

Kota Salatiga

0

22

0

Kota Semarang

0

177

0

Kota Pekalongan

0

46

0

Kota Tegal

0

27

0

Jumlah

7800

709

Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2006

Dari data diatas dapat diketahui bahwa hampir 92% wilayah di Jawa tengah secara administratif merupakan wilayah desa. Dengan demikian, sebagian besar masyarakat Jawa Tengah merasakan dan berhubungan dengan pemerintahan desa.

Kedua, Anggapan bahwa desa merupakan entitas demokrasi asli Indonesia dimana dari perspektif sejarah dan telaah sosiologis desa merupakan perwujudan kontrak sosial antar individu dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, Masih adanya pandangan dan stereotip baik dari pihak intern desa maupun ekstern luar desa. Pandangan-pandangan itu dirangkum oleh Sutoro Eko sebagai berikut

Tabel cara pandang terhadap Desa

Cara Pandang

Argumen

a. Pragmatis

Orang desa tidak butuh politik, demokrasi, dan otonomi, melainkan hanya butuh pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

b. Romantis

Desa mempunyai keaslian dan kearifan lokal yang luhur

c. Dominatif

Orang desa itu miskin, bodoh, terbelakang dan tradisional sehingga perlu dibina dan dibantu.

d. Harmonis

Orang desa itu saling hidup rukun, tidak ada masalah, mandali (aman terkendali), gotong royong, dan seterusnya.

e. Inferior

Orang desa merasa rendah diri mengatakan dirinya wong ndeso.

f. fatalis

Orang desa selalu pasrah pada keadaan, manut, tidak berpikiran yang macam-macam

( Eko, 2003:249, dengan sedikit modifikasi)

Pandangan dan anggapan tentang desa tersebut tidak mutlak benar atau bahkan tidak juga mutlak salah. Dalam pandangan pragmatis, orang desa diidentikkan dengan sekelompok orang yang tidak membutuhkan politik, demokrasi, atau bahkan otonomi. Mereka lebih membutuhkan pemenuhan kebutuhan pokok. Dalam cara pandang romantis, orang beranggapan bahwa desa itu masih orisinil, menjunjung tinggi kearifan lokal, komunalisme, bahkan ada juga yang beranggapan bahwa desa merupakan wujud demokrasi asli Indonesia. Sudir Santosa, Ketua Parade Nusantara ( Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara) dalam suatu kesempatan seminar “Dinamika Desa di Era Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Pusat kajian Kebijakan dan Studi Pembangunan FISIP UNDIP, 27 Maret 2006 di makalahnya menulis :

“ Janganlah lagi melihat desa sebagai bagian terkecil dari pemerintahan nasional negeri ini, tetapi pandanglah desa sebagai entitas yang memiliki nilai dan kearifan sendiri dalam menyelenggarakan dan mengatur kehidupan pemerintahannya dalam menyejahterakan masyarakatnya...”

Cara pandang dominatif menganggap warga desa itu bodoh, terbelakang, miskin, tidak berdaya. Implikasinya dapat kita lihat pada pembangunan pedesaan di masa-masa yang lalu yang lebih cenderung sentralistis dan top-down type. Cara pandang fatalis beranggapan bahwa orang desa itu pasrah, menerima keadaan, tidak berbuat dan berpikiran macam-macam. Memang dalam filsafat Jawa, orang jawa mengenal doktrin nrima ing pandum, maksudnya kurang lebih adalah menerima keadaan yang digariskan oleh tuhan. Keempat cara pandang tersebut biasanya datang dari orang luar desa.

Anggapan yang berasal dari intern orang desa sendiri biasanya adalah cara pandang inferior. Dalam cara pandang ini orang desa cenderung merendahkan diri dan inferior terhadap desanya sendiri. Memang hal ini tidak mutlak dalam seluruh pedesaan di Indonesia. Misalnya orang Minangkabau,di Sumatra Barat bangga mengatakan dirinya “anak nagari” meskipun sudah lama merantau ke daerah lain. Sedangkan di desa-desa Jawa terjadi kecenderungan melemahnya kebanggaan sebagai wong ndeso. Meminjam peristilahan Sutoro Eko ( Eko, 2003:300) bahwa wong ndeso identik dengan “ cerak watu adoh ratu” atau dalam bahasa Indonesia “ dekat batu jauh ratu” maksudnya kurang lebih orang desa dekat dengan kesengsaraan dan jauh dari kekuasaan atau kerajaan yang idealnya mengayomi masyarakat.

Ada pula anggapan yang berasal dari intern maupun ekstern desa. Anggapan ini dapat kita lihat pada cara pandang harmonis. Baik orang luar desa maupun orang desa sendiri menganggap bahwa masyarakat desa senantiasa dalam suasana harmonis, tentram, mandali (aman terkendali), rukun, dan tidak ada masalah. Ada juga analogi yang mengatakan “Orang desa itu mirip ikan dalam aquarium.” Walaupun sebenarnya mereka terbelenggu, tatapi mereka menikmati. Kehidupannya.

Seiring dengan euforia politik dan demokratisasi yang mencuat sejak era bangkrutnya orde baru, rakyat dikalangan pedesaan juga memperlihatkan kekritisannya terhadap pemerintahan desa, pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Pada medio 2006 lalu terjadi protes ribuan aparatur desa oleh Parade Nusantara ( Persatuan Kepala Desa dan perangkat Desa Nusantara) tentang pengaturan pemerintah Desa merupakan contoh konkret meningkatnya kekritisan dan dinamika masyarakat desa terlepas dari unsur politisnya.

Kebijakan yang selaras dengan isu tersebut diantaranya adalah kebijakan desentralisasi dimulai dngan UU.No 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 34 tahun 2004 yang didalamnya juga mengatur tentang pemerintahan desa. Dalam UU No.34 tahun 2004 misalnya diatur dalam bab XI pasal 93 sampai pasal 111 yang mengatur Pembentukan, Penghapusan dan/atau Penggabungan Desa, Pemerintahan Desa, Badan Perwakilan Desa, Lembaga lain di desa, dan Keuangan Desa.

Yang tidak kalah penting dalam desentralisasi adalah mentolelir apa yang disebut dengan konteks lokal. Hal ini berarti entitas penguasa administratif di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan pemerintah pusat harus menghargai konteks lokal dan hukum adat suatu desa.

Good governance dan demokrasi akan sangat bersinggungan “mesra” dengan kekuasaan. Bisa dikatakan studi mengenai kekuasaan ini merupakan studi yng tidak pernah padam. Kekuasaan dari jaman dahulu sampai sekarang berperan besar dalam hubungan kehidupan bersama dan berimplikasi pada nasib ribuan bahkan jutaan umat manusia. Dalam aras lokal demokrasi di desa, juga dapat dijumpai dinamika kekuasaan desa dan menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti. Bagaimana kekuasaan di aras lokal pedesaan dijalankan oleh penguasa berkaitan dengan sumber, saluran, unsur, dan pertumbuhan kekuasaan penguasa desa dalam interaksi dan gejala pemerintahan desa dan hubungan antara masyarakat desa dengan penguasa desa.

Berawal dari brainstorming dan interaksi dengan beberapa masyarakat Lokus penelitian, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak pada saat peneliti melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) pada saat survey lokasi. Ada indikasi kekuasaan desa terpusat pada kepala Lokus penelitian dalam memimpin pemerintahannya. Dari uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mencoba menelaah lebih dalam tentang Fenomena kekuasaan terpusat kepala desa di Lokus penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sifat deskriptif merupakan salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif (Moleong : 6). Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian

Meski pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya terhadap data-data yang bersifat kualitatif, namun bukan berarti bahwa pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan data kuantitatif. Penelitian ini tidak hendak menguji hipotesis, sesuai sifat dari penelitian kualitatif yang tidak bertujuan untuk menguji hipotesis. Yang akan banyak diteliti adalah fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi penelitian serta melakukan analisis terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang diamati. Tipe penelitian seperti ini menuntut seorang peneliti untuk melakukan studi aktif di lapangan. Lokus dalam Penelitian ini adalah Suatu Desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Gambaran Umum Lokus Penelitian

Kondisi Geografis

Lokus penelitian adalah salah satu dari 20 desa di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Secara orbitasi, Lokus penelitian berjarak 3 km dari ibu kota kecamatan dan dari Kabupaten Demak sejauh 10 km.

Lokus penelitian merupakan desa pantai/pesisir yang memiliki luas sebesar 357 Ha yang terdiri dari:

1. Tanah sawah sebesar 350 Ha tadah hujan

2. Tanah kering sebesar 220 Ha terdiri dari pemukiman dan tegal/ladang

3. Tanah fasilitas umum (sekolah, kuburan, perkantoran pemerintah dll) sebesar 2 Ha

Lokus penelitian dipotong secara melintang dari utara ke selatan oleh sebuah sungai yang cukup besar dan terdapat pula sungai irigasi yang biasa difungsikan sebagai sumber pengairan oleh penduduk untuk menunjang keberadaan area persawahan mereka. Sistem irigasi menjadi hal yang signifikan, mengingat kawasan Lokus penelitian termasuk daerah yang sering kali mengalami masa sulit air pada musin kemarau.

Lokus penelitian memiliki letak yang strategis karena terletak antara kecamatan Wedung dan Kecamatan Bonang dan dilalui angkutan umum dengan waktu tempuh ke ibukota Kecamatan Wedung selama 15 menit dengan jarak ± 3 km. Waktu tempuh ke ibukota Kabupaten Demak selama 30 menit dengan jarak ± 10 km, waktu tempuh ke ibukota Propinsi Jawa Tengah (Semarang) selama satu jam dengan jarak ± 25 m.

Keadaan dan Potensi Sumber Daya Alam

Ditinjau dari aspek topologi dan keadaan tanah, wilayah Lokus penelitian merupakan daerah persawahan dan tanah kering. Hal ini mengakibatkan sector pertanian menjadi sector pendukung perekonomian desa yang utama.

Sektor pertanian merupakan potensi sumber daya alam yang besar bagi Lokus penelitian. Keseluruhan lahan yang dimiliki oleh Lokus penelitian 90% merupakan lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan komoditas yang utama yaitu tanaman padi. Selain itu terdapat tanah kering (lahan tegal/ladang) yang belum termanfaatkan secara optimal guna mendukung perekonomian desa.

Keadaan Perekonomian

Secara umum penduduk Lokus penelitian bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini disebabkan karena banyaknya lahan pertanian yang ada di Lokus penelitian. Ketika musim kemarau atau musim paceklik dan musim tunggu panen, banyak penduduk yang beralih mata pencaharian ke sektor usaha lain misalnya perikanan (nelayan) atau pergi ke kota bekerja sebagai buruh indiustri dan bangunan. Disamping itu pemuda-pemuda yang tidak bersekolah atau menganggur mengisi waktu mereka sebagai ”pengedos”. Pengedos merupakan peristilahan bagi buruh memanen padi. Persebaran penduduk berdasarkan klasifikasi mata pencaharian, dapat dilihat pada tabel berikut

Mata Pencaharian Penduduk

No

Mata Pencaharian

Jumlah (jiwa)

1

Petani

276 orang

2

Buruh Tani

1425 orang

3

Buruh/Swasta

22 orang

4

Pegawai Negeri

24 orang

5

Pengrajin

2 orang

6

Peternak

12 orang

7

Nelayan

63 orang

8

Pedagang

14 orang

Sumber: Profil Lokus penelitian Tahun 2006

Jumlah penduduk Lokus penelitian yang berjumlah 3.596 ini dapat dikatakan sebagai potensi pasar yang cukup menjanjikan bagi berjalannya roda perekonomian Lokus penelitian. Karenanya di Lokus penelitian mulai terdapat usaha-usaha yang bergerak di bidang perekonomian seperti produksi dan distribusi barang dan jasa walaupun masih dalam skala rumah tangga. Untuk prasarana distribusi barang dan jasa dapat dilihat dari table berikut:

Prasarana Distribusi Barang dan Jasa

No

Jenis

Jumlah (unit)

1

Pasar

-

2

Toko

3

3

Warung

6

Sumber: Profil Lokus penelitian Tahun 2006

Skema Kelembagaan Lokus penelitian


Sumber: Profil Lokus penelitian Tahun 2006

Analisis Kekuasaan Kepala Desa.

Kalau kita menelaah perkembangan masyarakat dalam hal kepemimpinan kelompok, maka akan kita jumpai kata kunci primus interpares yaitu sosok individu yang unggul diantara individu lainnya dalam suatu masyarakat. Individu ini dapat diandalkan untuk menghalau ancaman dari luar. Kemudian berkembang sistem feodalisme jaman kerajaan dimana status seseorang diperoleh sejak lahir yang sering kita sebut sebagai ascribed status. Fenomena saat ini masih kita jumpai pada kepemimpinan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Perkembangan terkini dalam memilih kepemimpinan adalah dengan sistem demokratis. Masyarakat desa bahkan sudah sejak dari zaman dulu menggunakan sistem pilihan langsung.

Dalam konteks Kepala Lokus penelitian, status ini memang didapat dari kombinasi feodalisme dan demokratis. Berdasarkan cerita dari Kepala desa sendiri, Beliau terlahir dari keluarga paling kaya dan merupakan keluarga “penguasa” di Lokus penelitian. Kekuasaan keluarga kepala Desa berlangsung turun temurun dari leluhurnya. Dalam suatu kesempatan dia bercerita :

“… Keadaaan desa ini aman, saya jamin keamanannya. Hampir semua mayoritas beragama islam. Keluarga saya semua jadi Polisi hanya saya yang jadi lurah. Saya ini jadi lurah sudah turun-temurun. Saya nggak nyombong dulu keluarga say bapak, embah, buyut itu orang yang berpengaruh di Wedung( baca Kecamatan Wedung). Dulu kakek saya lurah, bapak juga lurah. Periode kemarin memang orang lain tetapi setelah itu saya...”

Kekuasaan Kepala Desa juga diperoleh dari sistem yang demokratis yaitu mekanisme pemilihan langsung pada pemilihan kepala desa tahun 2000 (terlepas dari: apakah proses suksesi kepala desa waktu itu demokratis atau tidak).

Hubungan yang terjadi dalam relasi kepala Lokus penelitian adalah hubungan yang asimetris. Dalam hubungan ini posisi antara Kepala Desa dan masyarakat tidaklah sejajar dalam artian posisi formal dan dalam praksisnya kepala desa lebih tinggi daripada masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan desa.

Apabila kita mencoba mengupas sumber kekuasaan Kepala Desa, maka akan terlihat sumber kekuasaan dominan yang dimiliki adalah ekonomi, tradisi, dan militer (baca: pengendalian kekerasan). Berbagai sumber tersebut sebenarnya merupakan “warisan” dari leluhur/keluarga kepala desa.

Leluhur Kepala Desa dianggap sebagai orang sakti orang-orang desa. Dari hasil indepth interview dapat diketahui betapa masyarakat masih menganggap leluhur kepala desa masih berpengaruh dan mungkin kemampuan itu menurun kepada kepala desa. :

...” Aku Yo rak ngerti, duwe ilmu apa to Pak Lurah. Dulu keluarganya punya ilmu, ayahnya Pak Lurah dulu pernah puasa 40 hari di kubur di dalam tanah...”

Hal ini juga menyebabkan masyarakat merasa tidak enak hati ( pakewuh) kalau mau memberikan kritik. Mereka menginterpretasikan kritik merupakan bentuk perlawanan terhadap kepala desa yang berarti juga melawan leluhur kepala desa.

Dulu keluarga Kepala Desa yang mungkin sampai sekarang adalah orang yang paling kaya se-desa sehingga ia bisa mengontrol penguasaan tanah kekayaan material serta buruh. Sumber dari sisi ekonomi berkaitan dengan pemilikan permodalan, tanah, sarana produksi yang berujung pada kekayaan material, penguasaan pekerja, dan hasil produksi yang dibutuhkan masyarakat. Jean Luc-Maurer juga memberikan pernyataan dari hasil penelitiannya di sepuluh desa di Jawa bahwa :

Salah satu sumber utama kekayaan para kepala desa dalam praktik tradisional masih banyak kita jumpai yaitu pemberian kompensasi untuk tugas pemerintahan selama mereka memangku jabatan resmi dalam pemerintahan desa, atau bahkan setelah pensiun , dengan menikamati sebidang tanah bengkok yang luas. ( Jean Luc-Maurer, Antlov, 2001 : 134)

Dibawah ini tabel perolehan tanah bengkok perangkat desa di lokus penelitian. Dapat dibayangkan berapa besar previlage yang diperoleh perangkat desa sebagai imbalan dari atau kompensasi memangku jabatan perangkat desa. Apalagi jika kita lihat proporsi antara kepala desa dengan perangkat desa yang lain.

Tabel Jumlah Tanah Bengkok

No

Jabatan

Luas bengkok

1

Lurah

18,615 (Ha)

2

Carik

8,288 (Ha)

3

Staf Urusan Pemerintahan

3,878 (Ha)

4

Staf Urusan Pembangunan

4,925 (Ha)

5

Staf Urusan Keuangan

4,147 (Ha)

6

Staf Urusan Umum

3,006 (Ha)

7

Staf Urusan Kesra

3,306 (Ha)

8

Modin

4 bahu

9

Kepetengan

4 bahu

10

Ulu-Ulu

1,890 (Ha)

11

Kebayan

4 bahu

12

Kamituwo

4 bahu

13

Bekel

3,440 (Ha)

Sumber: Profil Desa Lokus Penelitian: 2006

(Diolah dan dimodifikasi seperlunya)

Menurut Schemerhorn, kekuasaan ini akan bersifat kumulatif dan mudah bertranformasi. Maksudnya, suatu tipe kekuasaan tertentu cenderung mempegaruhi tipe kekuasaan lainnya, sehinngga dapat membentuk struktur kekuasaan tertentu pula. Dengan demikian kekuasaan di bidang tertentu merupakan dukungan untuk mendapatkan kekuasaan di bidang lainnya. Ada kecenderungan kekuasaan di suatu bidang akan meluas ke bidang lainnya.Timbulnya struktur kekuasaan menyebabkan terjadinya bentuk perubahan yang baru. Berawal dari penguasaan atas pengendalian kekerasan (karena leluhur Kepala desa dipandang orang sakti) akan merambah pada penguasaan akan tanah, para buruh, dan penguasaan kekayaan materi. Kekuasaan kepala desa juga bertransformasi dari kekuasaan yang disebutkan diatas menjadi kekuasaan dalam bentuk kekuasaan politik, hukum, dan diversionary power.

Ditinjau dari unsur-unsurnya, kekuasaan dapat berpangkal dari rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, dan pemujaaan. Dalam kasus di lokus penelitian, kekuasaan kepala desa berpangkal dari rasa takut warga masyarakat desa terhadapnya walaupun sebelumnya berawal dari kepercayaan pada saat pilkades periode sebelumya. Walaupun masih harus dipertanyakan apakah warga desa benar-benar memilih kepala desa karena benar-benar percaya bahwa dia bisa membawa warga desa mencapai kesejahteraan dan cita-cita bersama karena sebelum pemilihan, beliau tinggal di luar kota selama bertahun-tahun.

Ketakutan warga ini ditandai dengan beberapa indikator diantaranya : Jarang sekali ada warga yang berkunjung ke rumah Kepala Desa kaklau tidak ada hal sangat penting dan berhubungan dengan administrasi pemerintahan desa, jarang sekali perangkat desa yang berinteraksi secara langsung di lingkungan kantor kelurahan maupun di rumah, dll.

Dari hasil observasi dan indepth interview mayoritas informan memberikan informasi bahwa semua warga desa takut kepada kepala Desa.

“…Semua orang di desa ini takut sama pak Lurah. Pemuda, karangtaruna, BPD, LKMD, apalagi pamong. Masyarakat sini tidak berani memprotes Pak Lurah. Biasanya hanya bisa nggrundel di belakang Dulu Pak Lurah didukung kiai tetapi sekarang hubungannya agak renggang…”( informan B)

“… Kebanyakan masyarakat sini memang takut pada Pak lurah, kalau kami bukannya takut Mas, tapi malas meladeni. Kalau beda pendapat pasti dikucilkan oleh mereka. Buktinya pemuda desa ini sekarang tidak diurusi sama Pak Lurah...” (informan C)

“…Piye yaaa, kalau Pak Lurah niku nggih wong mriki wedi kabeh. Wong kene ora ono sing wani, sekali digetak do wedi kabeh. Mbiyen tau ono pemuda sing judi. Pak lurah paling anti judi..langsung dilabrak Pak Lurah. Sampe saiki rak ono sing wani judi ning kene , Mas. Terus dulu pas ada ndangdut ana pemuda desa sing tukaran mbek desa sebelah trus ada sidang oleh pak Lurah. (informan D)

Perasaan takut masyarakat desa ini menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan kepala desa. Perasaan takut ini cenderung negatif karena kepatuhan yang dihasilkan adalah kepatuhan karena terpaksa. Kepatuhan semacam ini dilakukan semata-mata agar warga masyarakat terhindar dari kesulitan seandainya tidak mematuhi kepala desa. Dari hasil pengamatan rata-rata hanya ada 1 tamu (yang berasal dari dalam desa lokus penelitian) yang bertamu untuk alasan mengurus surat-surat kependudukan. Jarang bahkan tidak ada penduduk desa yang bertamu untuk membicarakan masalah yang berkenaan dengan pembangunan dan urusan kemasyarakatan desa.

Deskripsi Singkat Kekuasaan Terpusat Kepala Desa

Kekuasaan kepala desa bisa dikatakan bersifat totaliter. Dari hasil observasi dan indepth interview peneliti menemukan beberapa hal yang menggambarkan kekuasaan kepala desa dan cenderung tidak demokratis.

ü Kebijakan yang dihasilkan selalu kebijakan yang diinginkan kepala Desa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selalu rancangan kebijakan yang berasal dari inisiatif kepala desa yang menjadi kebijakan desa. Dari hasil wawancara dengan informan B bisa kita lihat jelas dengan uraian sebagai berikut :

“…Dalam penentuan kebijakan pak Lurah selalu otoriter, Rapat itu pasti ada, tetapi pendapat dan usul pamong tidak pernah dipakai kalau usulnya tidak sejalan dengan keinginan Pak Lurah.

“…Pada saat musrenbang kemarin, perangkat desa mengusulkan dibangunnya saluran irigasi untuk sawah warga. Tapi Pak Lurah rupanya lebih menginginkan pembuatan jalan yang menghubungkan RW 3 dengan RW 2. Alasannya supaya perjalanan dari Dukuh Ruwit ke Dukuh Dinding lebih lancar karena jalan besar( Jl. Wedung-Demak rusak berat). Akhirnya yang goal adalah pembuatan jalan tersebut. Sebelumnya juga begitu Musrenbang yang dulu irigasi juga tidak jadi karena Pak Lurah menginginkan instalasi PDAM. Tahun sebelumya Pak Lurah lebih tertarik pada pembangunan MI milik Yayasan desa…”

Dengan demikian kekuasaaan pembuatan kebijakan benar-benar terpusat pada satu orang yaitu kepala desa. Elemen-elemen yang lain di desa juga tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan desa.

ü Sikap anti kritik

Fenomena kekuasaan terpusat biasanya ditandai dengan sifat-sifat totaliter. Meminjam peristilahn Hans Antlov, bahwa kepemimpinan Jawa itu cenderung “perintah halus pemerintahan otoriter”. Temuan peneliti adalah sikap kepala desa yang anti kritik. Semua orang yang berusaha memberikan usulan, pemikiran, kritik tidak diakomodir. Salah satu contoh konkret adalah: pengebirian Karang Taruna secara “cantik dan tak terlihat”. Argumennya adalah kalangan pemuda beranggapan bahwa pemerintah desa tidak memperhatikan pemuda dalam proses Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) yaitu tidak pernah lagi diajak berdialog setelah mengkritisi kebijakan-kebijakan kepala desa.

Memudarnya Semangat Mengontrol

ü Tidak Berfungsinya BPD

BPD mempunyai peran yang sangat strategis dalam pemerintahan desa. Ibarat konstelasi kekuasaan di pemerintah pusat, BPD adalah DPR-nya. BPD menempati peran sebagai lembaga legislatif di tingkat desa.

Yang terjadi di desa ini adalah BPD tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ada beberapa temuan peneliti yang mengindikasikan fenomena ini. Pertama, tidak adanya mekanisme secara resmi untuk menjaring aspirasi masyarakat. Memang ada rapat yang disebut dengan sebutan selapanan (pertemuan setiap 35 hari sekali menurut hitungan penanggalan Jawa) tetapi hanya menyentuh elit warga di tingkat RW maupun dusun. Idealnya BPD juga melakukan mekanisme penyerapan aspirasi ke seluruh lapisan masyarakat desa karena pada hakikatnya BPD merupakan representasi dari seluruh masyarakat desa.

Yang kedua, isu-isu yang diperjuangkan dalam forum-forum desa ( terutama dalam musrenbang) tidak membela kepentingan dan aspirasi masyarakat, tetapi lebih terkooptasi oleh keinginan kepala desa. Dari hasil wawancara dan indepth interview diperoleh informasi dari pernagkat desa yang sekaligus menjadi ketua kelompok tani sebagai berikut:

“...Bisa dikatakan BPD kurang berfungsi. Untuk aktivitasnya saya terus terang kurang begitu tahu baik itu agenda rapat maupun kegiatan meminta pendapat dari warga. “Jarene” kalau rapat BPD selapan sekali. Pada saat musrenbang juga kelihatan BPD tidak pro dengan kepentingan warga…”

Ketiga, ada kecenderungan bahwa BPD mempunyai legitimasi yang besar dalam kebijakan publik di tingkat desa. Memang benar demikian, tetapi dengan persetujuan dan konsultasi dengan warga masyarakat tentunya. Jika belum, maka dapat dikatakan BPD belum menjalankan fungsinya dengan baik.

Seharusnya ada mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat yuang dalam praktiknya dapat berbentuk formal maupun informal. Sutoro Eko secara sistematis mendeskripsikan tipologi metode penyerapan aspirasi sebagai berikut:

Tabel Tipologi Metode Penyerapan Aspirasi

BPD

Sifat

Level

Personal

Institusional

Informal

Anggota BPD secara personal berbincang-bincang dengan warga arena anjangsan (bertamu, melayat, pesta hajatan, bertemu di jalan, dll

BPD secara kolektif melakukan safari kunjungan dan obrolan informal kepada warga

Seorang warga menyampaikan kepentingan dan keluhannya kepada anggota BPD

BPD secara kolektifmelakukan dialog dengan kelompok-kelompok sosial atau organisasi masyarakat

Formal

Anggota BPD menerima surat dari warga desa yang berkepentingan

Dengar pendapat warga dengan BPD

anggota BPD masuk ke forum-forum komunitas ( kelompok pengajian, PKK, Karangtaruna, Kelompok tani, dll.

Lokakarya atau rembug desa yang teragenda secara sistematis

( Eko, 2004 : 322 dengan modifikasi seperlunya)

Apalagi sekarang ada sektor privat (perusahaan rokok) yang men-sponsori kegiatan-kegiatan rembug desa atau semacamnya. Seharusnya peluang-peluang semacam ini dapat dimanfaatkan oleh BPD dalam upaya meningkatkan kinerja dan menjaring aspirasi masyarakat.

ü Timpangnya PM (Pengendalian Masyarakat) dan PS (Pengawasan Sosial)

Dibutuhkan keseimbangan dan sinergisitas antara PM dan PS dalam pembangunan masyarakat desa. PM merupakan suatu interaksi pemerintah desa yang arahnya ke bawah (masyarakat desa). Dengan demikian, interaksi yang berlangsung merupakan upaya bagaimana program-program pembangunan yang disusun baik hasil kebijakan desa maupun pemerintah di atasnya dapat dijalankan oleh desa yang bersangkutan dengan partisipasi dari warga masyarakat.

PS merupakan interaksi yang sifatnya from people to government. Yaitu interaksi sejauh mana warga dapat berpartisipasi secara aktif baik itu dalam program pembangunan maupun dalam menjalankan mekanisme kontrol trehadap pemerintahan desa.

Yang peneliti temukan di lokus penelitian adalah ketimpangan antara PM dan PS. PM cenderung mendapatkan porsi yang lebih besar dalam interaksi antara warga desa dengan pemerintah desa (Kepala Desa). Implikasi yang ditimbulkan dari kondisi semacam ini adalah menurunnya partisipasi dan kontrol masyarakat desa. Masyarakat desa menjadi pasif dan cenderung menerima apa adanya segala kebijakan dan program-program pembangunan desa.

Ketimpangan ini juga menimbulkan semakin terpusatnya kekuasaan kepala desa. Hal ini terjadi karena tidak ada interaksi dua arah dalam hubungan antara pemerintah desa dengan rakyat desa. PS yang proporsinya sangat kecil ini juga menyebabkan pemerintah desa merasa tidak ada yang mengawasi dan mengontrol segala kebijakan dan tindakan yang dilakukannya.

Voice masyarakat Desa

Voice berbeda dengan vote. Voice jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suara, voice mempunyai maksud yang lebih luas dari vote. Voice merupakan salah satu pilar partisipasi masyarakat selain akses dan kontrol. Voice menunjuk pada hak dan ruang publik masyarakat untuk menyampaikan suaranya (pendapat, usul, saran, bahkan kritik) dalam proses pemerintahan. Vote lebih pada suara masyarakat pada saat pemilihan pejabat publik.

Dalam proses pemerintahan desa, voice merupakan manifestasi partisipasi masyarakat desa terhadap pemerintahan desa. Voice ini dapat berkembang jika kedua pihak sama-sama membuka diri untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan desa. Masyarakat hendaknya secara aktif memberikan pendapat, usul, saran, bahkan kritik kepada pemerintahan desa, sebaliknya pemerintahan desa membuka keran kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan pemikiran mereka.

Jika voice masyarakat sudah ada atau berjalan, maka akan meningkat pada taraf yaitu setiap warga mempunyai hak untuk mengakses dan masuk dalam arena pembuatan kebijakan desa, termasuk juga akses dalam pelayanan publik. Kondisi ini akan membuka peluang kontrol masyarakat terhadap pemerintahan desa. Karena apa? Masyarakat sudah berani mengeluarkan voice dan memperoleh akses dalam kebijakan dan pelayanan publik.

Yang terjadi di lokus penelitian adalah belum terlihatnya voice masyarakat dalam interaksinya dengan elite-elite desa. Hal ini ditandai dengan tidak berfungsuinya lembaga-lembaga saluran aspirasi masyarakat. Ditambah lagi fenomena “takut” masyarakat terhadap orang nomor satu di lokus penelitian. Kondisi ini berimplikasi luas pada tidak adanya akses masyarakat dalam kebijakan dan pelayanan publik. Dalam pembuatan surat-surat kependudukan misalnya, RT/RW juga tidak berfungsi karena pembuatan itu langsung ke rumah kepala desa untuk meminta tanda tangan dan stempel. Hal ini juga berakibat rendahnya kontrol masyarakat karena mereka takut menyampaikan voice dan tidak mempunyai akses terhadap pemerintahan.

Membangun civil society di Desa

Civil society atau sering diterjemahkan sebagai masyarakat madani merupakan wacana yang sering digembar-gemborkan dalam proses demokratisasi. Literatur klasik menyebutkan civil society sebagai sebuah masyarakat politik yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Beberapa pemikir seperti De Tocqueville memberikan penekanan pada pluralitas dan kemandirian masyarakat dalam relasi masyarakat itu sendiri dengan negara.

Akademisi Indonesia yang mengungkapkan konsep civil society seperti Dawam Rahardjo, Adi Suryadi Cula, Nurcholis Madjid yang menunjuk civil society sebagai suatu masyarakat yang berperadaban dan berpegang pada aturan hukum dan norma yang berlaku.

A.S Hikam mendefinisikan civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain voluntary, self-generating, self-supporting, kemandirian berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diikuti oleh warganya.( 1996 : 3)

AAGN. Ari Dwipayana menyebutkan setidaknya ada empat karakteristik ideal civil society di desa ( Dwipayana, 2003: 128) :

Pertama, Perkumpulan warga yang dikelola lebih resmi dan profesional serta mempunyai derajat kemandirian yang tinggi baik dari segi pendanaan maupun dari segi eksistensinya berhadapan dengan negara dan elite desa.

Kedua, perkumpulan warga yang mempunyai semangat pluralisme tinggi yang secara intensif dan semarak mengembangkan trust, dialog, kerjasama baik di dalam maupun luar lingkungan desa sehingga membuahkan agenda riil untuk memberdayakan masyarakat lapisan bawah.

Ketiga, Perkumpulan warga yang semarak mampu melakukan kontrol yang kuat terhaadap pemerintah desa dan BPD, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan desa.

Keempat, Perkumpulan warga yang secara kritis dan kreatif mengembangkan potensi sumber daya lokal baik dalam pengertian ekonomi, dan sosial budaya untuk menjadi kekuatan dalam menghadapi arus kekuatan global dan pasar yang dapat memperlemah posisi tawar mereka.

Dari banyak penafsiran tentang civil society, maka dapat di rumuskan bahwa civil society mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

v Civil Society merupakan aktor non-negara

v Unit-unit sosial yang independen dari intervensi negara.

v Adanya public sphere

v Bersifat kemandirian, swasembada, dan keterikatannya dengan norma dan hukum yang berlaku

Di lokus penelitian, civil society belum mencapai tahapan yang memungkinkan adanya voice, akses, dan kontrol masyarakat desa terhadap pemerintahan desa. Faktor utama yang melatarbelakangi kondisi tersebut ada dua. Yang pertama adalah belum adanya agen pembaharu yang mempelopori pengembangan civil society di desa.

Kedua, kondisi sosial ekonomi yang masih rendah. Mayoritas warga desa disibukkan dengan urusan “perut”. Mereka berangkat untuk menjadi buruh pemanen padi (pengedos) dari pagi sampai sore pada musim panen. Sedangkan pada musim tanam kebanyakan penduduk menjadi nelayan sebagai pekerjaan substitusi mereka. Untuk membentuk civil society di desa dibutuhkan agen pembaharu untuk mempelopori dan menjadi aktor pendorong serta membangunkan awareness masyarakat untuk mampu berpartisipasi aktif ( voice, akses, dan kontrol) terhadap pemerintahan desa.

ü Good Village governance

Membangun good governance di desa merupakan suatu wacana kritis yang perlu mendapat perhatian seluruh elemen masyarakat desa untuk mewujudkan kesejahteraan desa. Dalam bahasa yang sederhana good governance merupakan relasi yang sinergis antara aktor publik (pemerintah), aktor privat (swasta), dan civil society (masyarakat).

Ketiga aktor tersebut harus mampu bekerjasama secara sinergis dan menjalankan peran masing-masing untuk melaksanakan pembangunan desa. Peran dan fungsi masing-masing aktor berbeda. Pemerintah dalam hal ini Kepala desa dan jajarannya merupakan organ eksekutif desa yang diberi wewenang masyarakat desa untuk melaksanakan pemerintahan desa. Arena peran dan fungsi berkisar pada isu-isu sebagai berikut: regulasi, kebijakan, keuangan, pelayanan publik, sosialisasi program pemerintah supra desa, dll.

Masyarakat politik di desa dengan aktornya BPD berkaitan dengan representasi masyarakat, artikulasi kepentingan masyarakat, legislasi, sosialisasi, dan kontrol. Masyarakat sipil yang dapat berbentuk institusi sosial kemasyarakatan atau warga masyarakat sendiri yang berbentuk RT, RW berkaitan dengan keswadayaan, gotong royong, kontrol, dll. Tidak ketinggalan privat sector di desa. Entitasnya dapat berupa UKM, toko, dan badan usaha lainnya yang ada di desa. Mereka mempunyai peran dalam hal penyediaan barang-barang produksi dan distribusinya. Secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambaran Good Village Governance

Pilar GVG

Entitas

Peran

Isu yang berkembang

Negara

Kepala desa, Perangkat desa

Regulasi, kebijakan, Keuangan, pelayanan publik, sosialisasi program pemerintah supra desa, dll.

Akuntabilitas, transparansi, responsivitas, responsibilitas, Effectiveness and efficiency

Civil Society

a.Institusi masyarakat, RT, RW, Karangtaruna

keswadayaan, gotongroyong, kontrol, dll.

Voice, akses dalam pengambilan keputusan dan pelayanan publik

b. BPD

representasi masyarakat, artikulasi kepentingan masyarakat, legislasi, sosialisasi, dan kontrol.

Kapasitas, akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas, transparansi

Privat sector

Pelaku usaha, UKM, Toko dan warung, dll.

penyediaan barang-barang produksi dan distribusinya

Akses kebijakan, Sosial responsibilities

Dengan gambaran demikian kekuasaan terpusat pada salah satu aktor governance dapat diminimalisir. Sebagai contoh kekuasaan terpusat pada kepala desa seperti yang terjadi lokus penelitian kemungkinan dibendung oleh aktor GVG (Good Village Governance) yang lain baik itu dari civil society dan privat sector yang ada di desa.

PENUTUP

Kesimpulan

Studi mengenai kekuasaan, demokrasi lokal, dan good governance merupakan studi yang menarik dalam ilmu sosial. Dinamika kekuasaan yang ada di masyarakat merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan implikasi luas terhadap ribuan bahkan jutaan umat manusia.

Hubungan kekuasaan senantiasa ada dimana-mana, tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga terjadi di aras lokal pedesaan. Dinamika kekuasaan ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap gejala-gejala pemerintahan dan proses demokrastisasi yang sedang dan dalam proses seperti sekarang ini.

Peneliti menemukan fenomena kekuasaan terpusat kepala desa. Wujud dari fenomena tersebut diantaranya: kebijakan yang dihasilkan desa selalu kebijakan yang diinginkan kepala desa, sikap anti kritik dari kepala desa, serta kurang berfungsinya lembaga oposisi di desa. Peneliti juga mencoba mengupas lebih dalam dan mencoba menganalisis dinamika kekuasaan kepala desa yang terjadi di lokus penelitian berkaitan dengan sumber, kegunaan, saluran, dan unsur-unsur kekuasaan kepala desa.

Ditinjau dari sumbernya, kekuasan kepala desa lebih bersifat kultural dan cenderung ascribed status. Kekuasaan kepala desa bisa dikatakan membentuk suatu dinasti atau trah yang terbentuk secara turun-temurun dari leluhurnya. Dalam perkembangnnya memang kekuasaan kepala desa tidaklah statis seperti yang dikemukakan R. H. Schemerhorn yaitu kumulatif dan mudah bertranformasi. Dimulai dari penguasaan militer (kekuasaan fisik) berlanjut menjadi kekuasaan tanah, kekayaan (ekonomi), dan bertransformasi dari kekuasaan yang disebutkan diatas menjadi kekuasaan dalam bentuk kekuasaan politik, hukum, dan diversionary power. Sumber-sumber tadi juga merupakan saluran yang digunakan untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaannya.

Ditinjau dari unsur kekuasaan, kekuasaan kepala desa berpangkal dari rasa takut warga masyarakat desa terhadapnya walaupun semula berawal dari kepercayaan pada saat pilkades periode sebelumnya. Walaupun masih harus dipertanyakan apakah warga desa benar-benar memilih kepala desa karena benar-benar percaya bahwa dia bisa membawa warga desa mencapai kesejahteraan dan cita-cita bersama karena sebelum pemilihan, beliau tinggal di luar kota selama bertahun-tahun. Kepatuhan yang berpangkal dari rasa takut ini akan berimplikasi negatif karena masyarakat patuh/menerima kepemimpinan kepala desa karena keterpaksaan. Peneliti juga menemukan mistis, magi dalam peristilahan Soerjono Soekanto turut memberi andil dalam dinamika kekuasaan desa.

Ada beberapa faktor penyebab pemusatan kepala desa di lokus penelitian yaitu :

v Tidak berfungsinya lembaga kontrol di tingkat desa

v Belum terbentuknya civil society yang mantap.

v Belum adanya voice (hak dan ruang publik masyarakat untuk untuk menyampaikan suaranya yang berupa pendapat, usul, saran, bahkan kritik dalam proses pemerintahan desa)

v Ketimpangan pengendalian masyarakat dan pengawasan sosial

v Adanya moralitas nggrundel (baca: berbicara di belakang orang )

v Adanya moralitas pakewuh ( tidak enak hati) terhadap pemimpin.

Masyarakat desa sebenarnya tidak 100 % pasif. Mereka memang tidak menunjukkan perkataan, sikap, ataupun perbuatan menentang dihadapan penguasa. Namun demikian, orang desa tidak hanya nrimo ing pandum atau menerima nasib apa adanya. Mereka biasanya berani berkata di belakang (nggrundel) dan menunjukkan sikap resistensi dengan protes ala Gandhi yaitu melawan dengan diam tanpa kekerasan.

Yang terjadi dengan masyarakat marginal sebenarnya bentuk penggerogotan hak-hak publik untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Benar adagium yang mengatakan bahwa “ Rakyat hanya merdeka sekali, yaitu pada saat pemilihan umum”

Saran

Menanggapi fenomena yang terjadi di lokus penelitian, perlu adanya semangat seluruh elemen masyarakat baik intern desa maupun masyarakat supra desa untuk meminimalisir kekuasaan terpusat salah satu aktor governance di aras desa. Bentuk aktivitas yang bisa dilakukan adalah mendorong dikembangkannya pendidikan politik bagi masyarakat desa. Pendidikan politik ini jangan diartikan secara ekstrim bagaimana menmberikan pengetahuan warga desa tentang seluk beluk dan tetek bengek politik, akan tetapi lebih pada penanaman awareness masyarakat desa untuk berpartisipasi secara aktif baik itu voice, akses, dan kontrol, dalam pemerintahan desa.

Karena ke-pasif-an dan rendahnya partisipasi disebabkan masih tersisanya korporatisme negara orde baru dan mandegnya kehidupan politik masyarakat desa pada masa-masa yang lalu perlu adanya agen pembaharu yang maju ke depan untuk mempelopori peningkatan kualitas civil society. Dengan demikian, masyarakat bukan saja menjadi objek kekuasaan elit desa saja, tetapi mampu menjadi aktor village governance yang mampu berpartisipasi aktif dalam pemerintahan desa.

Last but not least, Perlu kepedulian aktor governance supra desa dalam pembangunan civil society di aras desa. Masih jarang terjadi anggota DPRD, camat, dan pemimpin daerah yang turba melihat kondisi masyarakat desa. Hal ini secara psikologis menjadikan masyarakat merasa negara jauh dari mereka. Bahwasanya orang desa itu “ Cerak watu adoh ratu” masih ada dalam persepsi masyarakat desa. Setiap masa reses anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau kegiatan non dinas pihak eksekutif penguasa supra desa hendaknya digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat desa.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Antlov, Hans dan Sven Coderoth. 2001. Kepemimpinan Jawa- Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  2. Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Gramedia. Jakarta
  3. Dahl, Robert.1963. Democracy and Its Critics. New Haven conn. Yale university press
  4. Dwipayana, AAGN. 2003. Membangun Good Governance di Desa. IRE Press. Yogyakarta
  5. Eko, sutoro.2004. Reformasi Politik dan pemberdayaan Masyarakat. AMPD Press. Yogyakarta.
  6. Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar dan Aplikasi. YA3. Malang.
  7. Hikam, AS.1996. Demokrasi dan Civil society. LP3ES. Jakarta
  8. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1983.
  9. Moleong, J. Lexy.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung.
  10. Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. :Bandung
  11. Soekanto,Soerjono. 1992.Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta.
  12. Soekanto,Soerjono. 1987.R A Schemerhorn-Masyarakat dan Kekuasaan. Rajawali Press. Jakarta.
  13. Soetarto, Endriatmo. 2006. n Elite Versus Rakyat. Lepera. Yogyakarta
  14. Soetrisno, HR. 2002. Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan.
  15. Thohir, Muhadjirin .2006. Ingin jadi Ilmuwan? Ya Meneliti. Makalah: Semarang
  16. Wiratmoko, Nict. T ( Ed) dkk. 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal. Percik. Salatiga

Tidak ada komentar: