bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Rabu, 17 Desember 2008

Jika Saya ketua KNPI

Jika Saya Memimpin KNPI Kota Semarang
Oleh
Arif Budy Pratama

Direncanakan tanggal 28 Desember 2008, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KNPI Kota Semarang akan menyelenggarakan suksesi kepemimpinan. Rangkaian agenda tersebut terbingkai dalam acara Musyawarah Kota (Muskot) KNPI Kota Semarang. Sebagai wadah organisasi kepemudaan se-antero Kota Semarang sudah sewajarnya KNPI menjadi tumpuan dan vocal point pembangunan kepemudaan di kota atlas tercinta ini. Sejauh mana kiprah KNPI dalam memberdayakan potensi pemuda-pemudi Kota Semarang? Bagaimana harapan stakeholders ke depan? Ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan atensi dalam Muskot tahun ini. Tulisan ini bukanlah media agitasi dan kampanye dalam pencalonan ketua baru KNPI, karena penulis tidak terlibat dan melibatkan diri dalam pesta suksesi ini tetapi lebih pada saran konstruktif untuk perbaikan ke depan.
Secara kelembagaan, KNPI adalah organisasi wadah berhimpunnya Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang ada di Kota Semarang. Organisasi ini dapat dikatakan sebagai organisasi kemasyarakatan yang strategis dalam konfigurasi Ormas di lingkup Kota Semarang. Ada beberapa argumen yang dapat dijadikan pegangan. Pertama, KNPI Kota Semarang adalah salah satu organisasi yang mendapat alokasi APBD untuk menunjang program kerja/kegiatan yang dijalankan oleh KNPI. Dengan demikian, para elit KNPI secara langsung maupun tidak langsung dapat berinteraksi dengan lembaga eksekutif maupun legislatif lokal dalam pembahasan anggaran. Kedua, KNPI adalah tempat berhimpunnya 34 OKP dan 16 Pengurus Kecamatan (PK) KNPI yang terdaftar di Kota Semarang. Dapat dibayangkan besarnya pengaruh dan bargaining power ketua KNPI sebagai representasi pemuda Kota Semarang.
Tanggalkan Mitos, Bangun Paradigma
Dalam perspektif sejarah, KNPI identik dengan lembaga korporasi dan kooptasi pemerintah terhadap pemuda-pemuda Indonesia agar tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah pada saat rezim orde baru berkuasa. Di wadah ini juga lah kader-kader pemimpin bangsa direkrut dan di-orbitkan. Kita bisa melihat menteri pemuda dari masa Akbar Tandjung sampai Adyaksa Dault adalah mantan ketua KNPI. Di aras lokal, banyak kader-kader KNPI menjadi pejabat-pejabat legislatif atau eksekutif di daerah. Apabila mitos ini masih terus diyakini dan menjadi pemicu pemuda-pemuda kita aktif di KNPI, akan kurang baik dampaknya bagi pengembangan dan kinerja organisasi. Para elit pemuda yang berjuang menjadi orang nomor satu di KNPI bukan karena panggilan jiwa untuk memberikan sumber daya yang dimiliki dalam rangka memajukan pemuda tetapi lebih pada motif kekuasaan belaka dengan harapan mereka akan mendapatkan kursi kekuasaan setelah “lulus” dari KNPI.
Kebijakan pembangunan kepemudaan kini sudah bergeser ke arah pemberdayaan pemuda dalam berbagai bidang terutama dalam bidang sosial ekonomi dan kebudayaan, bukan lagi politik an sich. Jadi KNPI sebagai leading sector pembangunan kepemudaan harus men-sinkronkran kebijakan ini dalam kegiatan-kegiatan yang mendorong pengembangan pemuda di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Banyak pemuda yang antipati dengan organisasi kepemudaan karena organisasi ini di-cap terlalu politis. Citra ini sedikit demi sedikit harus dikikis KNPI. Organisasi-organisasi kepemudaan harus mempunyai strategi yang jitu untuk mendapat simpati para pemuda dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan.
Kembali ke Muskot, agenda musyawarah ini mempunyai beberapa muatan strategis bagi KNPI sendiri maupun stakeholders di Kota Semarang. Siapa saja stakeholders itu? Mereka adalah Pemerintah Kota Semarang, DPRD, pemuda-pemudi dan seluruh warga Kota Semarang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah stakeholders tersebut merasa handarbeni (mempunyai) KNPI Kota Semarang? Apakah para pemuda tahu bahwa KNPI itu singkatan dari Komite Nasional Pemuda Indonesia dan eksis di Kota Semarang? Berapa persen jumlah pemuda Kota Semarang yang mengetahui eksistensi dan kontribusi KNPI? Sulit menjawabnya, karena hanya sedikit segmentasi pemuda yang tahu KNPI. Kondisi ini saya kira berlaku umum di kota-kota lain dan bahkan di tingkat pusat karena kiprah KNPI dirasa belum menyentuh subjek utama garapannya yaitu pemuda.
Muskot ini adalah wahana untuk mempertanggungjawabkan uang rakyat dalam APBD yang telah dipakai dalam kegiatan-kegiatan KNPI sebagai wujud akuntabilitas dan transparansi. Dengan demikian, idealnya pertanggungjawaban itu dipublikasikan secara umum melalui edaran dan media massa supaya masyarakat mengetahui penggunaan alokasi dana APBD untuk KNPI. Jika ini dilakukan, apresiasi dan dukungan dari para stakeholders akan semakin kuat karena sebagai lembaga publik, KNPI sudah memenuhi tanggungjawabnya dalam hal pertanggungjawaban dan pelaporan. Selain itu, DPD KNPI Kota Semarang akan menjadi perintis dan inspirator bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk melakukan hal yang sama.
Selanjutnya, Muskot ini akan menjadi ajang evaluasi bagi kepengurusan lama dalam menjalankan program-programnya. Evaluasi bukan berarti ajang mengecam dan mencari kesalahan. Konsekuensinya, pihak-pihak yang memberikan sumbang saran evaluasi hendaknya mengungkapkannya dengan santun.
Substansi yang lebih penting adalah, bagaimana Muskot kali membidani lahirnya ketua baru. Ketua KNPI terpilih harus mampu meningkatkan kinerja organisasi, siapapun figurnya. Perbaikan paling utama adalah perbaikan di tataran mindset, operasional dan politis. Dari aspek mindset, ketua KNPI terpilih harus mampu menanggalkan mitos dan jargon-jargon usang KNPI sebagai lembaga “plat merah” dan anak emas pemerintah. Memang, KNPI adalah bentukan pemerintah dan mendapat perlakuan istimewa dari “bapaknya”. Perlakuan ini membuat KNPI terkesan manja dan eksklusif yang berdampak kurang baik dalam pengembangan organisasi (organization development).
Aspek operasional menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang menjadi program kerja DPD KNPI selama 3 tahun kepemimpinan ketua terpilih. Salah satu hal yang menjadi penyebab nama KNPI kurang down to earth/membumi di kalangan rakyat adalah kurang tercapainya sasaran kegiatan-kegiatan KNPI yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Saya tidak tahu apakah bagian humas KNPI yang kurang berfungsi atau memang selama ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanyalah kegiatan ceremonial saja.
Dari aspek politis, ketua KNPI terpilih harus mampu menjaga independensi, kemandirian dan otonomi organisasi. Hal ini perlu demi pendidikan dan pembelajaran politik yang lebih baik. Dengan demikian, “bapak” (baca:Pemkot) jangan melibatkan diri dan ikut-ikutan men-setting pemilihan ketua KNPI. Biarkan “anak”(DPD KNPI) belajar mandiri mulai dari pemilihan sampai mereka menjalankan program kerjanya tiga tahun ke depan. Biarkan pula mereka mengkritik kebijakan Pemkot bila ada program Pemkot yang merugikan masyarakat. Akhirnya, selamat ber-Muskot kawan-kawanku KNPI, semoga Muskot kali ini melahirkan figur yang mumpuni untuk memimpin KNPI Kota Semarang tiga tahun ke depan.
Arif Budy Pratama, S.AP, Alumnus Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Pemerhati masalah sosial, politik dan kepemudaan

Rabu, 10 Desember 2008

Undang-undang Kementerian Negara

Mencermati Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 166
Oleh
Arif Budy Pratama

Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU KN) diundangkan dengan lembaran Negara tahun 2008 nomor 166. Secara umum undang-undang ini mengatur tentang kedudukan, tupoksi, susunan organisasi, pembentukan, pengubahan, pembubaran kementerian negara, hubungan fungsional kementerian dengan lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah serta pengangkatan dan pemberhentian menteri .
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memegang penuh kekuasaan pemerintahan/eksekutif dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggungjawab kepada presiden. Disini peran menteri menjadi sangat vital dalam rangka operasionalisasi kebijakan untuk mewujudkan visi misi presiden. Undang-undang ini dibuat untuk mempermudah presiden menyusun kabinet pemerintahannya. Akan tetapi, ada beberapa implikasi yang ditimbulkan dari undang-undang ini pada saat implementasinya nanti. Apa saja implikasinya? Ada beberapa catatan kritis dan langkah-langkah antisipatif yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, pembentukan kabinet yang lebih profesional. Dalam pasal 23 secara eksplisit dijelaskan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi perusahaan negara atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD. Dari pasal ini dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang diberi amanat menduduki jabatan menteri tidak boleh merangkap jabatan lain yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan/kebijakan. Bahkan menteri dilarang menjadi komisaris perusahaan swasta karena dikhawatirkan dapat menyebabkan distorsi pengambilan kebijakan dalam proses pengadaan barang dan jasa, tender, pemberian ijin, investasi dan kerjasama lainnya. Apakah cukup melarang menteri tidak merangkap jabatan seperti disebutkan pada pasal 23 diatas? Menurut hemat saya, ketentuan tersebut belumlah cukup. Idealnya, untuk mewujudkan kabinet yang benar-benar profesional, menteri sebagai pejabat publik juga harus dilarang merangkap sebagai ketua atau pengurus partai politik. Rangkap jabatan ini sering menyebabkan kinerja menteri terganggu karena gesekan-gesekan politis antara presiden, parlemen dan partainya. Tentu hal ini akan mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Apabila kita merunut lagi secara lebih mendalam, tugas seorang menteri sudah sangat berat. Jangankan merangkap jabatan, dengan satu jabatan saja seorang menteri bisa kewalahan jika permasalahan yang dihadapi terlampau banyak. Seorang menteri dituntut untuk fokus terhadap bidang tugas yang menjadi kewenangannya tanpa harus disibukkan oleh urusan-urusan lainnya.
Konfigurasi Kementerian Negara
Dalam UU KN, Kementerian negara diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu : Kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan), Kementerian yang ruang lingkup bidang tugasnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, urusan pokok kemasyarakatan lainnya), kementerian dalam rangka penajaman koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah (perencanaan pembangunan nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, kependudukan, aparatur negara, kesekretariatan negara, BUMN, lingkungan hidup, investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemuda, olahraga, pemberdayaan perempuan, perumahan, dan pembangunan kawasan). Urusan pemerintahan yang menjadi bidang tugas kementerian tidak harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri kecuali kementerian urusan luar negeri, dalam negeri dan pertahanan.
Dalam pasal 15 disebutkan secara tegas bahwa jumlah total dari seluruh kementerian yang dibentuk maksimal 34 (tiga puluh empat). Hal ini berimplikasi terhadap arah reformasi birokrasi terutama dari aspek kelembagaan atau struktur. Pasal ini mengandung maksud perampingan birokrasi pemerintah untuk tujuan efisiensi, efektivitas dan peningkatan performance aparatur negara dalam rangka reformasi birokrasi. Osborn dan Plastrik, ahli manajemen publik AS (2004) dalam bukunya Banishing Beureucracy memberikan pandangan bahwa birokrasi yang efektif adalah birokrasi yang ramping strukturnya. Saat ini (Kabinet SBY-JK) ada 3 kementerian koordinator, 21 menteri yang memimpin departemen, 10 menteri negara, 4 pejabat setingkat menteri dan puluhan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Ada beberapa hipotesis paska pemberlakuan UU KN terhadap konfigurasi kementerian dan lembaga negara dibawah presiden. Pada praktiknya nanti akan terjadinya pengubahan (pengubahan nomenklatur dengan cara menggabungkan, memisahkan dan/atau mengganti nomenklatur) atau pembubaran kementerian negara. Jika kebijakan ini yang diambil oleh presiden terpilih, maka akan terjadi perampingan birokrasi dan mutasi besar-besaran dalam tubuh birokrasi. Hipotesis selanjutnya, adalah terjadinya rasionalisasi jumlah personil dalam tubuh birokrasi kita sebagai konsekuensi dari perampingan organisasi dalam kementerian dan LPND. Re-assesment atau penilaian dan penyaringan kembali secara objektif dengan indikator yang telah ditentukan menjadi suatu alternatif yang bisa dilakukan. Langkah ini dimaksudkan untuk menyeleksi kompetensi aparatur dalam menjalankan tupoksinya. Dapat dibayangkan bagaimana repotnya nanti pengelolaan sumber daya aparatur pasca UU KN dilaksanakan.
Grand Strategy Antisipatif
Untuk itu, sudah semestinya disiapkan langkah-langkah antisipatif terhadap dampak negatif yang mungkin timbul. Mulai dari sekarang, pemerintahan SBY-JK melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) hendaknya menyusun grand strategy antisipasi pengelolaan sumberdaya aparatur paska UU KN diimplementasikan, meskipun tahun depan kekuasaan eksekutif belum tentu di tangan mereka lagi. Jika langkah ini dilakukan oleh pemerintah saat ini justru menunjukkan bahwa mereka adalah the statesman sejati bukan sekedar politisi yang mementingkan kepentingan pada masa kekuasaannya sendiri.
Birokrasi begitu strategis dalam upaya pencapaian visi misi seorang pemimpin. Jalan tidaknya program pemerintah sangat dipengaruhi oleh kinerja birokrasi. Betapa hebatnya seorang pemimpin/presiden apabila birokrasi tidak cakap dan kompeten meng-interpretasikan dan menjalankan kebijakan, maka kebijakan dan program pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Penulis melihat ada spirit reformasi birokrasi dalam Undang-undang Kementerian Negara. Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah sekarang dan pemerintah yang terbentuk tahun depan menyikapi dengan strategi yang jitu sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang dapat membawa kemajuan kehidupan bangsa yang lebih baik.
Arif Budy Pratama, S.AP Alumnus Administrasi Publik Universitas Diponegoro,
Pegiat di Pusat Studi Otonomi Daerah (PSOD), Jakarta