bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Selasa, 26 Agustus 2008

anggaran ke daerah(dimuat di harian Suara Merdeka 4 September 2008)

AKSELERASI PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH
Oleh
Arif Budy Pratama

Anggaran merupakan salah satu sumberdaya yang menempati peran sentral dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. APBN 2009 mengalokasikan pagu anggaran yang relatif besar ke daerah yaitu Rp.303,9 triliun. Nominal ini naik dibanding tahun ini yang hanya Rp. 292,4 triliun. Pengalaman pada tahun 2007, anggaran ini tidak terserap secara maksimal oleh pemerintah daerah sehingga sisa anggaran mencapai Rp.45 triliun. Sampai saat ini, banyak Pemda yang masih menyimpan dananya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau di Bank Pembangunan Daerah.
Sisa anggaran ini terjadi karena lemahnya penyerapan anggaran yang disebabkan oleh berbagai faktor.Pertama, adanya sindrom takut menggunakan anggaran. Pemda merasa takut mencairkan dan menggunakan anggaran karena super ketatnya pengawasan penggunaan anggaran oleh berbagai macam instansi pemerintah mulai dari inspektorat/bawasda, BPKP, BPK dan bahkan KPK. Belum lagi pengawasan eksternal dari masyarakat, media massa dan lembaga legislative. Sebenarnya pengawasan yang ketat ini baik untuk mengurangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintah, tetapi kalau dalam pelaksanaannya terkesan ekstrem dan berlebihan akan berdampak pada takutnya pengguna anggaran untuk mencairkan dan menggunakan anggaran.
Kedua, mata rantai yang panjang dalam birokrasi penganggaran muali dari penyusunan APBN sampai pencairan anggaran. Dalam proses perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran biasanya baru dilaksanakan pada bulan April atau Mei tidak pada awal tahun anggaran (Januari-Februari). Dengan demikian, implementasi pelaksanaan anggaran sebenarnya tidak satu tahun anggaran secara penuh (12 bulan) tetapi hanya efektif 8-9 bulan saja. Selanjutnya dalam proses pencairan pun rantai birokrasi yang harus dilalui juga terlalu panjang.

Implikasi Macetnya Penyerapan Anggaran
Macetnya penyerapan anggaran ini berimplikasi negatif terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan di daerah dan lingkup nasional. Kondisi ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara makro. Mengapa? Karena aktivitas perekonomian daerah dipengaruhi oleh pengeluaran pemrintah (government spending) dalam pembiayaan pembangunan daerah yang melibatkan dunia usaha. Kalau penyerapan anggaran daerah ini macet, akan terjadi kelesuan pembangunan dan menurunnya investasi di daerah. Sebaliknya jika penyerapan anggaran pembangunan daerah lancar, akan tercipta aktivitas, pertumbuhan ekonomi dan merangsang investasi di daerah serta terwujudnya mekanisme trickle down effect di daerah.
Implikasi yang mungkin timbul dari internal birokrasi Pemda adalah penggunaan dana rutin yang sangat kentara. Belanja pembangunan yang notabene adalah belanja yang konkret untuk pembangunan dan pelayanan publik (masyarakat) sering tidak terpakai secara maksimal. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa birokrasi pemerintah yang hanya melakukan kegiatan operasional untuk membiayai kegiatan-kegiatan rutin untuk dirinya sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat dan pelayanan publik.
Pencitraan semacam ini semakin memperburuk image birokrasi pemerintah di mata masyarakat kita. Padahal ada banyak problematika yang menjadi pemicu rendahnya kinerja birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak selalu disebabkan oleh faktor internal birokrasi. Salah satunya adalah rendahnya penyerapan anggaran ke daerah yang disebabkan oleh berbagai macam hambatan yang sifatnya sistemik maupun prosedural seperti yang penulis bahas diatas.

Harus Berbenah
Menyikapi rendahnya penyerapan anggaran ke daerah yang menyebabkan berbagai implikasi negatif terhadap pembangunan di daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan berbagai pembenahan dalam beberapa aspek sistem penganggaran kita. Pertama, Pemerintah harus mempercepat proses perencanaan penganggaran dalam penyusunan dan pembahasan APBN, sehingga implementasi pelaksanaan bisa efektif satu tahun anggaran (10-11 Bulan). Kedua, Departemen Keuangan harus segera melakukan simplifikasi prosedur dalam rangka pencairan anggaran ke daerah. Prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit akan mempermudah Pemda untuk mencairkan anggaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk pembangunan di daerahnya. Ketiga, mutlak diperlukan pengembangan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam hal penganggaran. Dengan adanya kapasitas yang memadai, akan terhindar dari sindrom “takut” menggunakan anggaran karena para pengguna anggaran di daerah sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi untuk mengelola anggaran.
Dalam kerangka kebijakan desentralisasi, daerah otonom diberi keleluasaan yang besar untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk dalam pengelolaan keuangan negara baik itu dana desentralisasi, dekonsentrasi maupun medebewind. Dengan demikian, bandul pengelolaan dan pelaksanaan anggaran sebenarnya sudah berada di daerah. Sekarang, tinggal bagaimana administrator publik di daerah mengelola anggaran tersebut.
Paradigma manajemen pemerintahan saat ini mengarah pada bagaimana pemerintah tidak hanya menghabiskan anggaran tetapi bagaimana pemerintah bisa mengelola anggaran tersebut untuk melayani masyarakat dengan pelayanan prima atau bahkan menghasilkan profit yang nantinya akan dikembalikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Arif Budy Pratama, S.AP, Alumnus Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro, sekarang bekerja di Biro Perencanaan dan Organisasi Kemenko Polhukam RI, Tulisan ini merupakan Pendapat Pribadi

Jumat, 22 Agustus 2008

Ni bwt pemburu beasiswa: aussie peace scholarship

usAID Indonesia, IDP Education Australia, Edith Cowan University, Macquarie University and the University of Notre Dame, in association with the Peace Scholarship Program are offering the opportunity for up to four students from Indonesia to study abroad in Australia for one semester commencing February 2009.

What do I get?

There are up to four Peace Scholarships available for eligible students in Indonesia worth up to AU$15,000 and covering:

* Tuition fees for study abroad at an Australian university for 1 semester
* Funds to cover travel costs, living costs, accommodation and other costs
* Two day orientation welcome program
* Other services and products offered by supporters of the Peace Scholarship Program
* Lifetime networking opportunities with Peace Scholarship recipients worldwide

Students who meet the eligibility criteria as provided below are invited to apply for the Peace Scholarship.

How do I apply?

STEP 1

Ensure you fulfil each of the selection criteria as detailed below:

* At the time of application you have completed at least three semesters and no more than six semesters of your first full-time undergraduate degree of an accredited course at any university in Indonesia
* You have achieved at least a 65-70% average mark in your degree to date
* You can preferably gain credit transfer for your study abroad program at the host university in Australia for your degree at your home institution
* You have a level of English language proficiency that satisfies both Student Visa requirements for entry to Australia as well as host institution requirements
* You do not hold citizenship or permanent residency in Australia and have not previously studied overseas, either in Australia or elsewhere (unless on a scholarship or to study English)
* You are able to demonstrate a commitment to ‘global peace and understanding’ through community, academic or professional achievements
* You are able to indicate how the Peace Scholarship experience will enhance your professional development and help contribute to global peace and understanding
* You are able to demonstrate a financial need and that without this scholarship you would not have the chance to study overseas

STEP 2:
The following materials must be received by IDP in Indonesia (details below) by 30th September, 2008.
1. Completed, printed and signed application form
2. Completed, printed and signed Agreement of Award Terms and Conditions
3. Certified true copy of English translated official academic transcript, including current year grades - certified by IDP
4. Proof of English language ability including IELTS or TOEFL (paper-based, computer-based or internet based)
5. Two References/Testimonials in English
o One reference/testimonial from home institution (Dean or higher). This reference/testimonial must follow the format outlined on the Home Institution Reference Form and address the criteria requested
o One reference/testimonial from someone you have worked with on a particular community service project that you talk about in your application (preferably your supervisor), or from someone who can honestly discuss your involvement in community based activities and projects and who has known you for more than 2 years. This reference/testimonial must follow the format outlined on the Community Leader Reference Form and address the criteria requested.
Note: References cannot be submitted from a person to whom you are related.
All applications must be received by IDP Indonesia (details below) by 30th September 2008.

Who can I contact for more information?

For more information regarding the 2008 Peace Scholarship Program please contact globalpeace@idp.com or the contacts below. Please send your applications to the IDP office listed below by the 30th September.

Rachmi Sjafei (Ms.)
Senior Project Officer/IELTS Administrator ID017
IDP Education Pty.Ltd. - South Jakarta Office
Jl.Terusan Gedung Hijau I Kav.9 no.01 E
Komp.RUKO Fitria Pondok Indah
Jakarta Selatan - 12310 INDONESIA
Phone: +62 21 750 3552/2660
Fax: +62 21 769 4846
Email: rachmi.sjafei@idp.com

beauty of math

Beauty of Math!

1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 2 = 98
123 x 8 + 3 = 987
1234 x 8 + 4 = 9876
12345 x 8 + 5 = 98765
123456 x 8 + 6 = 987654
1234567 x 8 + 7 = 9876543
12345678 x 8 + 8 = 98765432
123456789 x 8 + 9 = 987654321

1 x 9 + 2 = 11
12 x 9 + 3 = 111
123 x 9 + 4 = 1111
1234 x 9 + 5 = 11111
12345 x 9 + 6 = 111111
123456 x 9 + 7 = 1111111
1234567 x 9 + 8 = 11111111
12345678 x 9 + 9 = 111111111
123456789 x 9 +10= 1111111111

9 x 9 + 7 = 88
98 x 9 + 6 = 888
987 x 9 + 5 = 8888
9876 x 9 + 4 = 88888
98765 x 9 + 3 = 888888
987654 x 9 + 2 = 8888888
9876543 x 9 + 1 = 88888888
98765432 x 9 + 0 = 888888888


And look at this symmetry:

1 x 1 = 1
11 x 11 = 121
111 x 111 = 12321
1111 x 1111 = 1234321
11111 x 11111 = 123454321
111111 x 111111 = 12345654321
1111111 x 1111111 = 1234567654321
11111111 x 11111111 = 123456787654321
111111111 x 111111111=123456789 87654321

Now, take a look at this...

If:

A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z


Is represented as:

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26.


If:


H-A-R-D-W-O- R- K

8+1+18+4+23 + 15+18+11 = 98%


And:

K-N-O-W-L-E- D-G-E

11+14+15+23+ 12+5+4+7+ 5 = 96%


But:

A-T-T-I-T-U- D-E

1+20+20+9+20+ 21+4+5 = 100%


THEN, look how far the love of God will take you:



L-O-V-E- O-F-G-O-D

12+15+22+5+15+ 6+7+15+4 = 101%


Therefore, one can conclude with mathematical
certainty that:

While Hard Work and Knowledge will get you close, and
Attitude will get you there , It's the Love of God that will put you over the top!

Senin, 18 Agustus 2008

pancasilais

Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila

Oleh

Arif Budy Pratama

“A nation againts its principle will not stand” kata Proklamator dan pencetus Santi aji Pancasila, Ir. Soekarno. Suatu bangsa yang melawan prinsip-prinsip yang dianutnya, maka tidak akan mampu bertahan. Pernyataan ini relevan dengan keadaan bangsa kita saat ini. Apabila bangsa kita tidak mampu untuk mengamalkan dan bahkan “melawan” Pancasila sebagai dasar, pedoman, prinsip, dan falsafah hidup bangsa maka bukan tidak mungkin nama Indonesia ini hanya akan ditemukan dalam sejarah sebagai bangsa yang pernah ada di dunia ini.

Nilai dan roh pancasila belum terpancar dari perilaku dan sikap masyarakat kita. Bahkan perilaku elit dan pejabat yang seharusnya menjadi teladan rakyat malah dengan jelas melanggar nilai-nilai yang diajarkan Pancasila. Lihatlah gejolak dan fenomena yang berkembang akhir-akhir ini mulai dari terbongkarnya penyelewengan dana Departemen Kelautan dan Perikanan, tragedi berdarah Alas Tlogo, konflik DPR-Presiden dan lain sebagainya.

Pancasila merupakan dasar atau pondasi dari suatu nation state, Indonesia. Penulis mengibaratkan Indonesia sebagai suatu bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila adalah dasar yang dijadikan landasan untuk bangunan-bangunan di atasnya. Yang namanya pondasi haruslah kuat, mantab, dan mengakar sehingga mampu menahan bangunan di atasnya.

Menurut hemat penulis, nilai-nilai yang diajarkan Pancasila dapat diamalkan secara konkret oleh masyarakat jika dan hanya jika pancasila itu sudah ter-internalisasi dalam tubuh masyarakat kita. Internalisasi merupakan suatu keadaan dimana suatu nilai sudah “mendarahdaging” dalam setiap aktivitas masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut akan tercermin dalam setiap tindakan yang dilakukan. Bagaimana meng-internalisasikan Pancasila dalam setiap sendi kehidupan masyarakat kita?

Pertama, menuntut teladan dari tokoh-tokoh bangsa. Kebanyakan masyarakat akan melihat public figure dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap dan perilaku tokoh-tokoh masyarakat mulai Presiden sampai dengan RT hendaknya mencerminkan nilai-nilai pancasila.

Kedua, harus diupayakan suatu kondisi dimana pancasila benar-benar dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat. Sosialisasi nilai-nilai pancasila menjadi sangat penting mulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Mengapa keluarga? Keluarga merupakan entitas pertama ruang sosialisasi seseorang dan di level inilah akan terjadi proses pemahaman, pembiasaan, dan akhirnya nilai-nilai pancasila akan ter-internalisasi dalam diri seseorang.

Jangan sampai pengalaman masa lalu terulang. Masyarakat mampu menghafal pancasila bahkan sampai butir-butirnya, tetapi tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari karena sosialisasi pancasila cenderung formalistis dan minus teladan.

- Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UNDIP

pelayanan prima katanya

Mendamba Pelayanan Publik Yang Prima

Oleh

Arif Budy Pratama

Dalam kondisi euforia politik yang berlarut-larut seperti sekarang ini nampaknya sebagian besar elemen bangsa tertuju pada hal-hal yang berkenaan dengan suatu upaya memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan semata. Kita dapat melihat ramainya pemilihan umum, Pemilihan Presiden secara langsung (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan bahkan sampai Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Kurang satu sampai dua tahun saja geliat dan aura-nya sudah bisa kita rasakan. Hal ini mengakibatkan timpangnya penyelesaian permasalahan bangsa yang multi dimensi ini.

Selama ini posisi rakyat sebagai penguasa hakiki negeri ini hanya bersifat semu yaitu pada saat pemilu, pilpres, pilkada, dan pilkades saja. Benar adagium politik yang mengatakan bahwa rakyat hanya merdeka sekali tiap lima tahun pada saat pemilu. Setelah rakyat memberikan suaranya dalam pemilu posisi rakyat turun drastis dari penguasa menjadi wong cilik lagi.

Bagaimana dengan hak warga negara untuk mendapatkan jaminan keamanan? Bagaimana dengan hak pemilik hakiki dari pemilik mandat pemerintahan untuk mendapatkan penghidupan yang layak? Apakah masyarakat sebagai pemilik aset terbesar dari negeri ini sudah menikmati pelayanan publik sebagai muara relasi negara dengan rakyat. Pelayanan publik merupakan tugas utama dari pemerintah selain tugas pemerintahan umum dan tugas mengkoordinasi pembangunan.

Dalam filosofi sistem pelayanan publik, rakyat berdaulat untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum, mempercayakan pengelolaan negara kepada seseorang yang telah dipercaya sehingga terbentuklah pemerintahan. Selanjutnya pemerintah yang mendapat mandat dari rakyat akan menelurkan politik kebijakan yang akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang akan menjadi penghubung entitas negara dengan rakyat. Dengan demikian jelaslah bahwa rakyatlah yang harus dilayani oleh negara melalui organ-organnya yang sering kita kenal dengan birokrasi.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana birokrasi dapat melayani tuannya (masyarakat) dengan baik sehingga nama abdi masyarakat benar-benar disandang oleh birokrasi bukan hanya nama palsu untuk mempercantik citra.

Secara teoretis ada tiga dimensi yang sangat berpengaruh dalam proses pelayanan publik yaitu interpersonal atau hubungan antara pelayan masyarakat dan warga pengguna layanan. Selanjutnya adalah lingkungan dan prosedur pelayanan dan yang ketiga adalah dimensi teknis dan profesionalisme aparat. Jika dalam proses pelayanan publik terlalu menekankan pada dimensi interpersonal maka biasanya akan menimbulkan kesan kecilnya kadar profesionalitas pelayanan publik dan cenderung berbau nepotisme. Proses pelayanan publik yang menekankan pada prosedur akan menghasikan tipologi pelayanan publik yang cenderung kaku, rumit, dan berbelit-belit. Tetapi jika proses pelayanan lebih bertumpu pada aspek profesionalitas dan teknis dari pelayanan akan memberi kesan bahwa pelayanan dilakukan secara profesional namun tidak ada perhatian khusus secara individual.

Sehingga diperlukan suatu keseimbangan dari ketiga dimensi pelayanan yang penulis sebutkan diatas agar terjadi suatu sinergi yang akan berpengaruh terhadap kualitas layanan itu sendiri.

Alternatif Tindakan

Ada beberapa alternatif tindakan yang bisa dilakukan untuk menciptakan keseimbangan ketiga dimensi pelayanan publik. Yang pertama, memperkecil gap atau jarak antara pemerintah dengan rakyat (publik). Langkah ini dapat dilakukan jika mindset birokrasi sudah berubah dari penguasa menjadi pelayan. Perilaku ramah, sopan, banyak senyum aparat terhadap masyarakat pengguna layanan juga sangat berpengaruh dalam memperkecil jarak antara pemerintah dengan publik.

Kedua adalah membangun komitmen bersama untuk menciptakan visi perbaikan kualitas pelayanan. Komitmen yang dibangun oleh salah satu pihak saja akan menyebabkan kerancuan visi dan mis-persepsi sehingga pemahaman pelayanan publik yang prima tidak akan tercipta. Yang sering terjadi adalah beratnya ekspektasi atau harapan msyarakat tetapi tidak didukung dengan komitmen birokrasi dan kondisi lingkungan pelayanan publik yang kurang mendukung. Sebagai contoh praktik percaloan dan pungutan liar (pungli).

Fenomena ini terjadi karena banyak faktor baik dari sisi masyarakat pengguna layanan maupun oknum aparat birokrasi penyedia layanan. Di satu sisi masyarakat menginginkan pelayanan publik yang murah, cepat, dan tidak berbelit-belit. Namun kadang-kadang masyarakat pengguna layanan tidak dapat memenuhi persyaratan dan prosedur sistem layanan yang dibuat oleh birokrasi. Di sisi lain oknum birorasi yang kurang mempunyai integritas terkesan didukung oleh lingkungan yang mendorong praktik mal-administrasi seperti disebutkan diatas. Kita jangan menutup mata dengan fenomena ini karena praktik ini masih banyak terjadi dalam masyarakat kita. Sehingga komitmen bersama antara birokrasi dan masyarakat wajib ada.

Yang ketiga, memberikan keluasan publik untuk menyampaikan keluhan secara transparan dan memberikan respon secara arif dan bijaksana. Sebenarnya publik dapat meng-complain penyedia layanan jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan minimum yang telah dijanjikan. Kebanyakan masyarakat pengguna layanan masih banyak yang belum mengetahui mekanisme menyampaikan keluhan dan mengadukan penyimpangan yang terjadi dalam proses pelayanan publik. Selanjutnya pihak birokrasi harus menanggapi aduan, laporan atau keluhan masyarakat pengguna layanan secara bijaksana dan segera memprosesnya. Jangan sampai laporan tersebut hanya disimpan saja sebagai arsip kantor.

Terakhir, menerapkan prinsip akuntabilitas, proaktif dan partnership sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Inti dari langkah ini adalah sejauh mana penyedia layanan memberikan pertanggungjawaban (accountable) terhadap masyarakat sebagai pengguna layanan. Disamping itu birokrasi harus proaktif dan menganggap masyarakat sebagai partner/mitra dalam proses pelayanan publik

Mengingat pentingnya pelayanan publik yang prima adalah salah satu indikator penerapan good governance atau kepemerintahan yang baik maka peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi suatu keniscyaaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

_, Arif Budy P, Pegiat Komunitas Administrasi Publik Progresif FISIP UNDIP

belum terbaca oleh seseorang selain aqu

Reformasi Birokrasi Indonesia : Suatu Keharusan

Oleh

Arif Budy Pratama

Setelah drama reshuffle berakhir kini tinggal kita lihat akting aktor-aktor baru dalam panggung pemerintahan Indonesia. Sejalan dengan pendapat aliran sosiologi klasik dramaturgi yang dipelopori oleh Erving Goffman (1959) bahwa sesungguhnya manusia sebagai makhluk sosial merupakan aktor yang bertindak sebagai tanggapan langsung dari rangsangan sosial yang melembaga. Begitu juga dalam interaksi sosial para menteri baru yang baru saja mendapatkan amanah dari presiden. Apakah para menteri baru bisa menjalankan perannya sebagai aktor utama dalam departemen atau kementeriannnya untuk meningkatkan kinerja departemen atau kementerian yang dipimpinnya?

Yang lebih urgent sekarang menurut penulis adalah bagaimana memeperbaiki kinerja birokrasi kita dari level bawah. Dengan mengganti top manager di dalam departemen atau kementerian saja dirasa tidaklah cukup untuk meningkatkan kinerja birokrasi karena pada kenyataannya adalah street level beaureaucrat atau pegawai negeri tingkat bawahlah yang berhubungan langsung dengan masyarakat bukan para menteri maupun deputinya.

Ketika dalam birokrasi itu dimasukkan pejabat politik seperti sistem pemerintahan kita saat ini, maka timbul pula suatu pertanyaan tentang hubungan antara keduanya. Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan dan kontinyu antara fungsi kontrol dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi yang didengungkan oleh Wodrow Wilson, Bapak Administrasi Negara dari Amerika Serikat. Dengan demikian akan terjadi kecenderungan praktik-praktik mal-administrasi yang menjadi patologi birokrasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang saat ini semakin jelas terlihat.

Kondisi birokrasi Indonesia Saat ini

Sejarah birokrasi Indonesia dimulai ketika perang kemerdekaan usai. Sistem Administrasi Negara Indonesia segera dibentuk untuk menggantikan sistem administrasi kolonial Belanda. Pegawai-pegawai pada sistem administrasi kolonial digantikan oleh pegawai-pegawai Indonesia. Akibatnya terjadilah perekrutan besar-besaran untuk mengisi kekosongan pos-pos yang ditinggalkan oleh pegawai-pegawai pemerintah kolonial Belanda. Rekruitmen tidak didasarkan oleh keahlian atau merit system dan dengan sumber daya yang belum memadai. Patronage, nepotisme dan feodalisme masih cukup melekat dalam sistem Administrasi Negara Indonesia waktu itu. Birokrasi berkembang menjadi sangat besar dan nilai-nilai tradisional masih ikut mewarnai kehidupan birokrasi. Saat ini jumlah pegawai negeri tidak lagi proporsional dengan perbandingan jumlah.

Dari sisi budaya, pengaruh budaya politik amat kentara dalam budaya birokrasi Indonesia. Budaya paternalistik dan feodalisme yang sangat mewarnai dan telah merasuki budaya birokrasi di Indonesia. Sistem perencanaan yang sentralistis dan amat detail telah mengurangi ruang gerak para pegawai untuk berinisiatif dan melakukan inovasi. Kriteria pengawasan yang mengandalkan ketaatan terhadap sistem dan prosedur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penekanannya masih pada audit terhadap pertanggung jawaban keuangan telah memacu munculnya formalitas dalam pengawasan dan pertanggungjawaban pekerjaan.

Secara riil kinerja birokrasi Indonesia memang masih mengecewakan. Dalam penelitiannya, Prof. Agus Dwiyanto dari UGM (2002) terlihat bahwa capaian capaian birokrasi dalam produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, dan akuntabilitas masih sangat rendah.

Dimensi Reformasi Birokrasi

Selanjutnya kita akan mencoba menelaah dua dimensi reformasi birokrasi di Indonesia yaitu: dimensi struktural dan dimensi kultural. Dalam dimensi struktural, lebih pada penataan yang sifatnya kelembagaan, manajemen, dan organisasional yaitu meliputi sistem rekruitmen, sistem promosi, perubahan struktur dan tata kerja, penggajian, dan pengawasan dalam birokrasi. Reformasi dari sisi struktural saja akan sia-sia jika tidak diikuti oleh transformasi budaya. Distorsi budaya feodal birokrasi sudah seharusnya ditinggalkan oleh birokrat kita. Feodalisme sudah tidak relevan lagi di alam demokrasi seperti saat ini. Pendekatan budaya menjadi subject matter dan strategi dalam upaya menyuntikkan “virus” budaya baru dalam tubuh gembrot birokrasi kita.

Reformasi birokrasi harus bermula dari orang nomor satu di negeri ini. Political will menjadi prasyarat dalam upaya memperbaiki birokrasi kita. Beliau harus menjadi pusat gerakan nasional reformasi birokrasi. Sebagai perbandingan, Korea Selatan telah melakukan reformasi birokrasi sejak dekade 80-an. Beberapa langkah reformasi diantaranya: program civil servant gift control, civil servant conciousness reform movement, social purification movement.

Pada masa pemerintahan Roh Tae Woo tahun 1988 program ini diperkuat melalui deregulasi dan simplifikasi prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat, dan optimalisasi Komisi Reformasi Administrasi. Usaha Korea selatan ini tidaklah sia-sia. Kita bisa melihat bagaimana Korea Selatan menjadi pesaing Jepang di Asia karena birokrasinya bersih, profesional, dan berwibawa sehingga memudahkan arus investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Belajar dari kasus Korea Selatan lagi-lagi komitmen, visi, dan political will pemimpin bangsa menjadi faktor kunci keberhasilan reformasi birokrasi disamping kemauan para pelayan masyarakat kita untuk men-transformasi budaya birokrasi patrimonial menjadi budaya birokrasi yang profesional dan berwibawa. Semoga akan ada suatu gerakan nasional reformasi birokrasi di Indonesia.

_Arif Budy Pratama, Pegiat Komunitas Administrasi Publik Progresif FISIP UNDIP

parpol oh parpol.........

Demasifikasi Partai Politik

Oleh

Arif Budy Pratama

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang memperbolehkan calon independen untuk mengikuti Pilkada membawa implikasi yang luas terhadap penyelenggaraan Pilkada. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pilkada harus direvisi. Begitu juga dengan peraturan-peraturan operasional di bawahnya juga harus di revisi.

Salah satu pihak yang terkena dampaknya adalah partai politik (parpol). Sebelumnya, bakal calon kepala daerah dalam Pilkada harus mencalonkan diri melalui partai politik atau gabungan partai politik. Dengan adanya putusan MK tersebut hilang sudah salah satu peran Parpol sebagai sarana rekruitmen atau “kendaraan” calon kepala daerah untuk menduduki kursi kekuasaan.

Sebenarnya jika kita telaah lebih dalam, munculnya wacana calon independen sampai dikabulkannya tuntutan tersebut oleh MK berawal dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Parpol. Realita di lapangan, wacana calon independen juga disebabkan mandegnya fungsi partai politik sebagai sarana rekruitmen dan pendidikan politik. Sebagai sarana rekruitmen politik, partai hanyalah kendaraan dalam pencalonan kepala daerah dan anggota legislatif. Tidak peduli apakah bakal calon tersebut kader partai yang berjuang dari bawah atau orang luar yang mempunyai sumber daya besar untuk mencalonkan diri. Hal ini diperparah dengan pola rekruitmen dan seleksi yang tidak transparan dari partai pengusung.

Lalu bagaimana prospek Parpol ke depan? Melihat fenomena yang berkembang, agaknya Parpol di masa-masa yang akan datang akan semakin tidak dianggap oleh masyarakat kita dan bahkan dalam titik ekstrem akan terjadi resistensi terhadap parpol jika mereka tidak berbenah. Atau dengan kata lain akan timbul demasifikasi parpol di negeri ini jika tidak ada perbaikan kinerja parpol. Identifikasi awal dapat kita lihat pada fenomena golongan putih (golput) yang semakin meningkat.

Secara ideal, parpol adalah adalah suatu institusi yang berperan sebagai penyambung lidah rakyat dengan pemerintah sebagai entitas kenegaraan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian parpol adalah representasi rakyat. Tapi apa yang terjadi sampai kini? Para elit parpol dan wakil rakyat dari parpol sibuk dengan kepentingan sendiri dan golongannya.

Ke depan Parpol harus lebih dekat dengan rakyat. Artinya parpol harus menjadi institusi sandaran rakyat untuk menyesaikan masalah-masalah publik. Mulai dari sekarang Parpol harus membentuk kembali pencitraan partai sebagai institusi yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan sebagai institusi pengobral janji semata pada saat pemilihan umum.

Fenomena calon independen ini merupakan teguran rakyat terhadap Parpol. Jika teguran ini kurang direspon dengan baik oleh parpol dan lembaga legislatif yang notabene berasal dari parpol untuk segera merevisi UU politik, mari kita sambut era demasifikasi parpol.

_, Mahasiswa Administrasi Publik

FISIP-UNDIP

ni jg dimuat di harian suara merdeka awal 2007

Optimalisasi KPT Kota Semarang

Oleh

ARIF BUDY P*

Secara yuridis, KPT Kota Semarang dipayungi oleh Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kota Semarang. Setahun lebih KPT berkiprah dalam pelayanan publik di Ibu Kota Jawa Tengah. Lalu, bagaimana kinerja kantor yang terbilang baru ini?

Pengamat ekonomi Undip, Dr. FX Sugiyanto(Suara Merdeka, 25/4) menilai bahwa one stop service (OSS) atau pelayanan satu atap dalam pengurusan perizinan masih sebatas lips service. Hal ini juga terkait dengan penurunan investasi di Kota Semarang. KPT sebagai lembaga pelaksana pelayanan perizinan secara implisit dinilai masih memerlukan perbaikan dalam kinerjanya melayani masyarakat utamanya dalam hal perizinan investasi.

Sebagai kantor yang relatif baru, memang wajar untuk berbenah dalam rangka meningkatkan kinerja dan memantabkan eksistensinya dalam birokrasi pemerintahan di Pemkot Semarang. Pembentukan KPT ini didasari oleh tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang murah, tidak berbelit-belit, efisien, dan cepat tentunya. Pelayanan publik yang tadinya harus melalui beberapa lintas sektoral dinas terkait disederhanakan dengan konsep pelayanan satu pintu (one stop service) dimana pelayanan hanya melalui satu kantor terpusat di Kantor Pelayanan Terpadu. Dalam teori pelayanan publik model pelayanan dapat berupa model fungsional/konvensional, model satu atap, dan model satu pintu. Dalam model konvensional user harus melalui dinas-dinas terkait untuk mendapatkan pelayanan. Model satu atap lain lagi, dengan model ini user cukup mendatangi Unit Pelayanan Terpadu(UPT) selanjutnya UPT akan meneruskannya ke dinas-dinas terkait. Sedangkan OSS/ pelayanan satu pintu lebih simple lagi karena segala proses pelayanan publik akan berlangsung di satu kantor yaitu KPT. Idealnya dengan adanya KPT ini pelayanan publik di Kota Semarang akan lebih cepat dan efisien bila dibandingkan UPT dengan sistem satu atap-nya.

Best Practice Pelayanan Publik

Berbicara mengenai Pelayanan terpadu dan kualitas pelayanan publik rasanya kurang afdhol tanpa membicarakan daerah yang sudah sukses dengan dua isu tersebut. Sebut saja Kabupaten Sragen di kawasan timur laut Jawa Tengah dan Kabupaten Jembrana di Propinsi Bali yang menjadi best practice dalam pelayanan publik. Kondisi awal Kabupaten Sragen sebelum adanya sistem pelayanan terpadu merupakan kabupaten yang berpengasilan rendah di Jateng dan investor butuh waktu lama untuk mengurus perizinan. Upaya yang dilakukan Pemkab Sragen adalah sebagai berikut: Pengembangan Unit Pelayanan Terpadu, izin usaha digratiskan untuk pembukaan pertama kali, pendelegasian wewenang sampai desa/kelurahan, penerapan teknologi informasi, dan pengembangan usaha kecil-menengah. Apa yang terjadi setelah itu?

Investasi Tahun 2005 mencapai 955 Milyar dengan rincian UKM =Rp. 81,45 M; Besar =Rp. 913,55 M , Penyerapan Tenaga Kerja meningkat dari 28.976 menjadi 41.800 org (2005), Pajak 2004-2005 naik 250%, PAD 2005 naik 600% (Lembaga Administrasi Negara RI, 2006).

Bagaimana dengan Kabupaten Jembrana? Kondisi awal Kabupaten ini bisa dibilang sangat memprihatinkan.Tahun 2000, APBD Rp. 77 milyar; PAD Rp. 2,5 milyar, Tahun 2005, APBD Rp. 235 milyar; PAD Rp. 10,5 milyar, Rata-rata APBD per penduduk/pertahun Rp. 932.131,00 jika dibandingkan dengan Kab. Badung (terkaya di Bali)= 1:60. ( LAN RI,2006). Upaya peningkatan segera dilakukan diantaranya: Efisiensi Penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan Dana, Orang/SDM, dan Alat (DOA) serta pelayanan satu atap, peningkatan kualitas hidup (pendidikan, kesehatan, dan daya beli), peningkatan pelayanan (infrastruktur, administrasi, dan sosbud).

Hasilnya tidak sia-sia. Di bidang pendidikan, biaya gratis sampai SMU, peningkatan angka partisipasi pendidikan, berkurangnya angka DO, dan peningkatan Nilai UAN). Di bidang kesehatan : pembebasan biaya berobat negeri/swasta, penurunan angka kemiskinan dari 12.206 KK (2000) menjadi 6.034 KK pada tahun 2004. ( LAN RI, 2006).

Ada kesamaan mencolok antara Kabupaten Sragen dan Kabupaten Jembrana di Bali yaitu penggunaan pelayanan terpadu dan upaya-upaya memudahkan masyarakat dalam pelayanan publik. Pemkab kedua daerah ini menganggap bahwa pelayanan publik bukanlah pengeluaran pemerintah tetapi investasi pemerintah daerah dalam pembangunan daerahnya. Di Kedua daerah ini bupati terpilih untuk kedua kalinya dengan dengan kemenangan besar. Artinya apa? pelayanan publik yang baik merupakan indikator diterapkannya good governance atau kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan serta meningkatkan trust rakyat.

Strategi KPT Kota Semarang

Sekarang bagaimana dengan KPT Kota Semarang? Apakah KPT Kota Semarang mampu menjadi the leading institution dalam mengikuti jejak Sragen dan Jembrana? Ada beberapa hal yang perlu dilakukan dengan penuh komitmen. Pertama, implementasi Standar Pelayanan Minimum (SPM) secara konsekuen. SPM ini berkenaan dengan ketentuan mengenai seluk beluk proses pelayanan mulai dari prosedur, lama pelayanan, hingga biaya pelayanan. Misalnya, pengurusan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) lima hari kerja tanpa biaya harus benar-benar diselesaikan lima hari kerja tanpa biaya. Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi SPM kepada masyarakat. Kedua, evaluasi terhadap sistem dan prosedur pelayanan dilakukan secara periodik. Hal ini menjadi sangat penting agar proses pelayanan yang dilakukan oleh KPT dapat termonitor secara periodik. Yang ketiga, mengefektifkan mekanisme pengaduan masyarakat jika pelayanan KPT tidak sesuai dengan SPM yang telah ditentukan.

Sragen dan Jembrana membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai hasil kerja dari upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. KPT Kota Semarang baru saja merayakan ulang tahun perdananya dua bulan yang lalu. Mari kita tunggu kinerja KPT untuk meningkatkan pelayanan publik di Kota Atlas tercinta ini.

_ARIF BUDY P. Pegiat Komunitas Administrasi Publik Progresif ,UNDIP

ni dimuat di harian suara merdeka medio 2007

Akhiri Memilih Kucing Dalam Karung

Oleh

Arif Budy Pratama

Wacana calon indpenden dalam pemilihan kepala daerah semakin mengemuka. Berawal dari pemilihan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD) awal 2007 kemarin dengan terpilihnya Irnadi Yusuf dan M.Nazar (calon independen), isu ini semakin gencar. Terakhir, pemilihan Gubernur DKI Jakarta juga diwarnai dengan munculnya Gerakan Jakarta Merdeka yang menggembar-gemborkan wacana calon independen.

Calon independen disini dimaksudkan sebagai calon perseorangan yang tidak dicalonkan oleh partai politik. Konstitusi saat ini, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Kecuali NAD) mengamanatkan bahwa pencalon kepala daerah harus melalui partai politik dan atau gabungan partai politik. Dengan demikian, pemilihan calon kepala daerah seperti layaknya memilih kucing dalam karung karena rakyat tidak menyeleksi calon mereka dari awal. Partai politiklah yang menentukan calon tersebut.

Munculnya wacana calon independen juga disebabkan mandegnya fungsi partai politik sebagai sarana rekruitmen dan pendidikan politik. Sebagai sarana rekruitmen politik, partai hanyalah kendaraan dalam pencalonan kepala daerah. Tidak peduli apakah bakal calon tersebut kader partai yang berjuang dari bawah atau orang luar yang mempunyai sumber daya besar untuk mencalonkan diri. Hal ini diperparah dengan pola rekruitmen dan seleksi yang tidak transparan dari partai pengusung.

Yang harus diperjuangkan sekarang adalah bagaimana memunculkan figur-figur yang benar-benar berasal dari bawah. Tidak ada salahnya meniru proses pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan mekanisme pengumpulan dukungan dibuktikan dengan tanda tangan dan fotokopi KTP. Proses demokrasi mensyaratkan adanya iklim kebebasan dan otonomi individu untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Wacana calon independen ini merupakan proses akselerasi demokratisasi dan sarana pendidikan politik rakyat.

Arif Budy Pratama, Mahasiswa Administrasi Publik FISIP-UNDIP

kumpulan tulisan jadul

Anak-Anak Garuda

Oleh

Arif Budy Pratama

Masih ingatkah kita cerita tentang anak elang yang tidak bisa terbang karena dibesarkan oleh seekor ayam? Singkat cerita, ada seekor elang yang bertelur. Karena sesuatu hal maka telur itu jatuh di tempat ayam yang sedang mengerami telur-telurnya. Setelah waktunya menetas telur elang itu juga ikut menetas. Walaupun mempunyai bentuk morfologis yang jauh berbeda dengan anak ayam yang lain tetapi anak elang itu hidup bersama dan sudah menganggap dirinya sama dengan anak-anak ayam yang lain. Apa yang terjadi dengan anak elang? Ia menjadi elang yang perilakunya sama seperti ayam, bahkan ia tidak bisa terbang layaknya elang.

Inti dari cerita ini menggambarkan bahwa pola pikir, mindset, paradigma, dan persepsi suatu individu dan pengaruh lingkungan menempati peran yang strategis dalam membentuk perilaku dan perjalanan hidup.

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengganti analogi tokoh anak elang ini dengan anak-anak burung garuda. Mengapa burung garuda? Tidak burung merpati, angsa, atau bahkan burung bangau? Burung garuda adalah lambang negara kita tercinta, Indonesia raya. Anak-anak garuda itu adalah kita, para pemuda Indonesia dalam kondisi sekarang ini.

Kiranya penulis perlu untuk membatasi dan memberi penegasan apa yang dimaksud dengan pemuda itu sendiri. Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi kerancuan pembahasan mengenai pemuda. Pengertian pemuda menurut Profil Pemuda yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia tahun 2005 adalah mereka yang diidealkan sebagai sosok yang penuh energi, semangat, dan kreatif untuk menciptakan semangat pembaruan.

Sedangkan dalam perspektif batasan umur yang dimaksud pemuda adalah penduduk usia 15-35 tahun. Dalam tulisan ini penulis lebih condong menggunakan definisi dalam perspektif umur karena dalam praksisnya sangat sulit menemukan suatu kondisi pemuda yang diidealkan seperti keterangan diatas.

Pemuda Indonesia merupakan aset terbesar bangsa. Jika dilihat dari jumlahnya yaitu 80,7 juta jiwa ( BPS, data Susenas 2004) maka pemuda mempunyai potensi yang besar untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional kita. Itu secara kuantitatif belum secara kualitatif. Secara kualitatif nampaknya masih menjadi tanda tanya besar apakah pemuda Indonesia benar-benar qualified atau bahkan hanya menjadi beban bangsa saja?

Ada banyak permasalahan kepemudaan yang dialami oleh pemuda Indonesia diantaranya: merosotnya nilai keimanan dan ketaqwaan, merosotnya wawasan kebangsaan, rendahnya daya saing dalam menghadapi globalisasi, meningkatnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang di kalangan pemuda, meningkatnya kasus tindak kekerasan yang melibatkan pemuda, meningkatnya kegiatan pergaulan bebas di kalangan pemuda dan masih banyak lagi permasalahan lainnya.

Banyaknya persoalan yang dihadapi dan tantangan ke depan sebenarnya merupakan cambuk bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk terus mengembangkan diri demi kejayaan tanah air kita. Pemuda bagaikan anak-anak elang seperti cerita pada awal tulisan diatas. Pemuda Indonesia belum dapat “terbang” membawa bangsa ini mencapai kejayaan.

Review Arah Kebijakan Pembangunan Pemuda

Dalam hal ini pemuda Indonesia tidak bisa disalahkan 100%. Seperti juga anak elang dalam ilustrasi cerita di atas yang tidak bersalah karena dibesarkan oleh seekor ayam. Jika kita mencoba me-review kembali kebijakan kepemudaan pada masa lalu maka kita akan memaklumi kondisi pemuda Indonesia saat ini.

Yang pertama adalah depolitisasi pemuda. Hal ini merupakan kebijakan yang secara umum diterapkan pemerintah orde baru kepada warga negara agar tidak ikut-ikutan dalam politik. Secara nyata kita dapat melihat apa yang terjadi pada kalangan kampus tahun 70-an dengan kebijakan NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan kampus) dimana mahasiswa dikebiri hak politisnya bahkan hanya sekedar untuk memprotes kebijakan pemerintah.

Kedua, Pendekatan kooptatif. Kebijakan ini merupakan suatu kebijakan bagaimana pemerintah “merangkul” organisasi kepemudaan agar dapat dengan mudah disetir dan dikendalikan oleh pemerintah. Lihat apa yang terjadi dengan karangtaruna dan organisasi-organisasi kepemudaan pada saat orde baru.

Terakhir, less policy. Yaitu kebijakan kepemudaan yang cenderung membiarkan atau cuek terhadap organisasi kepemudaan. Dapat kita amati bagaimana lembaga atau organisasi pemuda kritis dan keagamaan yang kurang diperhatikan oleh pemerintah terdahulu.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan diri, pola pikir, dan paradigma, serta menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemuda Indonesia agar mampu untuk berkontribusi kepada nusadan bangsa. Mari kita sama-sama meyakinkan diri kita dan berkomitmen bahwa kita ini anak garuda bukan anak ayam.

_ Arif Budy Pratama, Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UNDIP

Minggu, 17 Agustus 2008

bolehkah saya MELAkukan CURhat

ya.........it's been a long time........maaf ya my blogs anda tidak keurus lama banget......sejak prajab ada yang ngingetin klo lu harus di urus gt........nah untuk awalan dan trigger aq masukin dl file2 yg dulu tp emang ga smuanya sich.......krn flash disknya masih aq titipkan ke mba'q.........

yah beginilah.........entering a new life....banyka dimensi baru.....teman baru......suasana beru.....ga terasa udah 8 bulan di jakarta, intinya sich perlu adaptasi.......

aku hanyalah manusia tetapi aku adalah seseorang, aku tidak bisa mengubah semuanya tetapi aku bisa berbuat sesuatu....gt......

ini tulisan aku waktu aku kkn di demak.......

RAJA KECIL DI DESA

( Studi Tentang Dinamika Kekuasaan Di Suatu Desa Pesisir Jawa Tengah)

ABSTRACT

Oleh

Arif Budy Pratama

Local democration and good local governance have become an interesting matter in social science. These always collerated with power. We can say that there is a society there is power in it. Local here means village. Why vilage? As we know in Indonesia, the teritory of village is wider than the city. Central Java as a sample, it has approximately 92% rural area. So most of Central Java people always interact with village government. More over, there were stereotypes and paradigms about villagers: pragmatic, Romantic, dominative, harmonic, inferior, and fatalic stereotype about villager.

The problem of the research is how was the phenomena and dinamization of the centered power in village. Then, the goals is to know about the centered power in the research locus and the factor affecting this phenomena. The use of this research is to apply the lesson we get from the university and it can contribute the development of social science especially in rural studies. In practical use is to help the society how to reduce the centered power that can affect the democratization in village.

In teorytical foundation, the writer uses the Schemerhorn’s concept of power. It explains about the definition of power, the sources and the uses of power, the elements of power, and the growth of power. Then the writer tries to look for people control and social control by Endriatmo Soetarto. It says abot the relation of government control and people control in society. To analyse the centered power the writer use the concept of democracy by Dahl and David Betham, also the check and balance in Locke and Montesqieu perspective.as an operational concept the writer uses The constitution number 32/2004 about village government.

In writing method, the writer accumulates the information with following steps : getting in, getting along, and logging the data. When logging the data the writer do as foloowing activities : indepth interview, observation, and text book studies. To check the validity of the information the writer observes the locus again and again, peer debriefing, and cross check the answers.

In the research locus, the writer found that the power of the chief village is the combination between democratic and feodalism. The sources of power gained from military, economic, and tradition.The magic aspect has also affected the power phenomena in village. The power also transformates from one form to another.if we analyse from the elements, we find that “the affraid” affecting people in relation with chief village. The centered power can be seen in following matter: the policy is come from the chief village initiative, and he is uncriticize.

The factor affecting centered power in research locus are : the disfunctional of village council, the gap of people control and social control, the lack of people voice.

The recomendation of this research is how to develop the civil society in village to reduce the centered power and attain the good village governance. The political education must be developed, how to improve the awareness of the people participation. In addition, there must be an agent of change in village to be a pioneer in good village governance. Last but not least, it need a concern from the external actor: the intelectual, NGO, Head Region, etc in rural development.

Key words : Power, good village governance

Pendahuluan

Saat ini demokrasi lokal dan good governance di tingkat lokal (baca: desa) menjadi interest tersendiri dalam disiplin ilmu-ilmu sosial. Mengapa desa? Ada beberapa pertimbangan dan alasan mengapa penelitian di aras desa dan hal-hal yang berbau lokalisme menjadi interest tersendiri. Pertama, di Indonesia wilayah dan jumlah pedesaan lebih besar daripada perkotaan. Data dari BPS Jawa Tengah dapat dijadikan sample wilayah desa lebih banyak daripada kelurahan. Dengan demikian eksisitensi pemerintahan desa lebih banyak di Jawa Tengah. Berikut ini tabel jumlah desa dan kelurahan di Jawa Tengah berdasarkan Kabupaten/Kota tahun 2005

Tabel Pembagian Desa dan Kelurahan di Jateng

Kabupaten/Kota

Desa

Kelurahan

Persentase desa (%)

Cilacap

269

15

98,1

Banyumas

301

30

90,9

Purbalingga

223

15

93,6

Banjarnegara

266

12

95,6

Kebumen

449

12

97,3

Purworejo

469

25

90,2

Wonosobo

236

28

89,3

Magelang

367

5

98,6

Boyolali

263

4

98,5

Wonogiri

251

43

85,3

Karanganyar

162

15

91,5

Sragen

196

12

94,2

Grobogan

273

7

97,5

Blora

271

24

91,8

Rembang

287

7

97,6

Pati

400

5

98,7

Kudus

124

7

94,6

Jepara

182

11

94,3

Demak

241

6

97,5

Semarang

208

67

75,6

Temanggung

266

23

92,0

Kendal

265

20

92,9

Batang

236

9

96,3

Pekalongan

270

12

95,7

Pemalang

211

11

95,0

Tegal

281

6

97,9

Brebes

292

5

98,3

Kota Magelang

0

14

0

Kota Surakarta

0

51

0

Kota Salatiga

0

22

0

Kota Semarang

0

177

0

Kota Pekalongan

0

46

0

Kota Tegal

0

27

0

Jumlah

7800

709

Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2006

Dari data diatas dapat diketahui bahwa hampir 92% wilayah di Jawa tengah secara administratif merupakan wilayah desa. Dengan demikian, sebagian besar masyarakat Jawa Tengah merasakan dan berhubungan dengan pemerintahan desa.

Kedua, Anggapan bahwa desa merupakan entitas demokrasi asli Indonesia dimana dari perspektif sejarah dan telaah sosiologis desa merupakan perwujudan kontrak sosial antar individu dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, Masih adanya pandangan dan stereotip baik dari pihak intern desa maupun ekstern luar desa. Pandangan-pandangan itu dirangkum oleh Sutoro Eko sebagai berikut

Tabel cara pandang terhadap Desa

Cara Pandang

Argumen

a. Pragmatis

Orang desa tidak butuh politik, demokrasi, dan otonomi, melainkan hanya butuh pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

b. Romantis

Desa mempunyai keaslian dan kearifan lokal yang luhur

c. Dominatif

Orang desa itu miskin, bodoh, terbelakang dan tradisional sehingga perlu dibina dan dibantu.

d. Harmonis

Orang desa itu saling hidup rukun, tidak ada masalah, mandali (aman terkendali), gotong royong, dan seterusnya.

e. Inferior

Orang desa merasa rendah diri mengatakan dirinya wong ndeso.

f. fatalis

Orang desa selalu pasrah pada keadaan, manut, tidak berpikiran yang macam-macam

( Eko, 2003:249, dengan sedikit modifikasi)

Pandangan dan anggapan tentang desa tersebut tidak mutlak benar atau bahkan tidak juga mutlak salah. Dalam pandangan pragmatis, orang desa diidentikkan dengan sekelompok orang yang tidak membutuhkan politik, demokrasi, atau bahkan otonomi. Mereka lebih membutuhkan pemenuhan kebutuhan pokok. Dalam cara pandang romantis, orang beranggapan bahwa desa itu masih orisinil, menjunjung tinggi kearifan lokal, komunalisme, bahkan ada juga yang beranggapan bahwa desa merupakan wujud demokrasi asli Indonesia. Sudir Santosa, Ketua Parade Nusantara ( Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara) dalam suatu kesempatan seminar “Dinamika Desa di Era Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Pusat kajian Kebijakan dan Studi Pembangunan FISIP UNDIP, 27 Maret 2006 di makalahnya menulis :

“ Janganlah lagi melihat desa sebagai bagian terkecil dari pemerintahan nasional negeri ini, tetapi pandanglah desa sebagai entitas yang memiliki nilai dan kearifan sendiri dalam menyelenggarakan dan mengatur kehidupan pemerintahannya dalam menyejahterakan masyarakatnya...”

Cara pandang dominatif menganggap warga desa itu bodoh, terbelakang, miskin, tidak berdaya. Implikasinya dapat kita lihat pada pembangunan pedesaan di masa-masa yang lalu yang lebih cenderung sentralistis dan top-down type. Cara pandang fatalis beranggapan bahwa orang desa itu pasrah, menerima keadaan, tidak berbuat dan berpikiran macam-macam. Memang dalam filsafat Jawa, orang jawa mengenal doktrin nrima ing pandum, maksudnya kurang lebih adalah menerima keadaan yang digariskan oleh tuhan. Keempat cara pandang tersebut biasanya datang dari orang luar desa.

Anggapan yang berasal dari intern orang desa sendiri biasanya adalah cara pandang inferior. Dalam cara pandang ini orang desa cenderung merendahkan diri dan inferior terhadap desanya sendiri. Memang hal ini tidak mutlak dalam seluruh pedesaan di Indonesia. Misalnya orang Minangkabau,di Sumatra Barat bangga mengatakan dirinya “anak nagari” meskipun sudah lama merantau ke daerah lain. Sedangkan di desa-desa Jawa terjadi kecenderungan melemahnya kebanggaan sebagai wong ndeso. Meminjam peristilahan Sutoro Eko ( Eko, 2003:300) bahwa wong ndeso identik dengan “ cerak watu adoh ratu” atau dalam bahasa Indonesia “ dekat batu jauh ratu” maksudnya kurang lebih orang desa dekat dengan kesengsaraan dan jauh dari kekuasaan atau kerajaan yang idealnya mengayomi masyarakat.

Ada pula anggapan yang berasal dari intern maupun ekstern desa. Anggapan ini dapat kita lihat pada cara pandang harmonis. Baik orang luar desa maupun orang desa sendiri menganggap bahwa masyarakat desa senantiasa dalam suasana harmonis, tentram, mandali (aman terkendali), rukun, dan tidak ada masalah. Ada juga analogi yang mengatakan “Orang desa itu mirip ikan dalam aquarium.” Walaupun sebenarnya mereka terbelenggu, tatapi mereka menikmati. Kehidupannya.

Seiring dengan euforia politik dan demokratisasi yang mencuat sejak era bangkrutnya orde baru, rakyat dikalangan pedesaan juga memperlihatkan kekritisannya terhadap pemerintahan desa, pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Pada medio 2006 lalu terjadi protes ribuan aparatur desa oleh Parade Nusantara ( Persatuan Kepala Desa dan perangkat Desa Nusantara) tentang pengaturan pemerintah Desa merupakan contoh konkret meningkatnya kekritisan dan dinamika masyarakat desa terlepas dari unsur politisnya.

Kebijakan yang selaras dengan isu tersebut diantaranya adalah kebijakan desentralisasi dimulai dngan UU.No 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 34 tahun 2004 yang didalamnya juga mengatur tentang pemerintahan desa. Dalam UU No.34 tahun 2004 misalnya diatur dalam bab XI pasal 93 sampai pasal 111 yang mengatur Pembentukan, Penghapusan dan/atau Penggabungan Desa, Pemerintahan Desa, Badan Perwakilan Desa, Lembaga lain di desa, dan Keuangan Desa.

Yang tidak kalah penting dalam desentralisasi adalah mentolelir apa yang disebut dengan konteks lokal. Hal ini berarti entitas penguasa administratif di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan pemerintah pusat harus menghargai konteks lokal dan hukum adat suatu desa.

Good governance dan demokrasi akan sangat bersinggungan “mesra” dengan kekuasaan. Bisa dikatakan studi mengenai kekuasaan ini merupakan studi yng tidak pernah padam. Kekuasaan dari jaman dahulu sampai sekarang berperan besar dalam hubungan kehidupan bersama dan berimplikasi pada nasib ribuan bahkan jutaan umat manusia. Dalam aras lokal demokrasi di desa, juga dapat dijumpai dinamika kekuasaan desa dan menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti. Bagaimana kekuasaan di aras lokal pedesaan dijalankan oleh penguasa berkaitan dengan sumber, saluran, unsur, dan pertumbuhan kekuasaan penguasa desa dalam interaksi dan gejala pemerintahan desa dan hubungan antara masyarakat desa dengan penguasa desa.

Berawal dari brainstorming dan interaksi dengan beberapa masyarakat Lokus penelitian, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak pada saat peneliti melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) pada saat survey lokasi. Ada indikasi kekuasaan desa terpusat pada kepala Lokus penelitian dalam memimpin pemerintahannya. Dari uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mencoba menelaah lebih dalam tentang Fenomena kekuasaan terpusat kepala desa di Lokus penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sifat deskriptif merupakan salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif (Moleong : 6). Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian

Meski pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya terhadap data-data yang bersifat kualitatif, namun bukan berarti bahwa pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan data kuantitatif. Penelitian ini tidak hendak menguji hipotesis, sesuai sifat dari penelitian kualitatif yang tidak bertujuan untuk menguji hipotesis. Yang akan banyak diteliti adalah fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi penelitian serta melakukan analisis terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang diamati. Tipe penelitian seperti ini menuntut seorang peneliti untuk melakukan studi aktif di lapangan. Lokus dalam Penelitian ini adalah Suatu Desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Gambaran Umum Lokus Penelitian

Kondisi Geografis

Lokus penelitian adalah salah satu dari 20 desa di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Secara orbitasi, Lokus penelitian berjarak 3 km dari ibu kota kecamatan dan dari Kabupaten Demak sejauh 10 km.

Lokus penelitian merupakan desa pantai/pesisir yang memiliki luas sebesar 357 Ha yang terdiri dari:

1. Tanah sawah sebesar 350 Ha tadah hujan

2. Tanah kering sebesar 220 Ha terdiri dari pemukiman dan tegal/ladang

3. Tanah fasilitas umum (sekolah, kuburan, perkantoran pemerintah dll) sebesar 2 Ha

Lokus penelitian dipotong secara melintang dari utara ke selatan oleh sebuah sungai yang cukup besar dan terdapat pula sungai irigasi yang biasa difungsikan sebagai sumber pengairan oleh penduduk untuk menunjang keberadaan area persawahan mereka. Sistem irigasi menjadi hal yang signifikan, mengingat kawasan Lokus penelitian termasuk daerah yang sering kali mengalami masa sulit air pada musin kemarau.

Lokus penelitian memiliki letak yang strategis karena terletak antara kecamatan Wedung dan Kecamatan Bonang dan dilalui angkutan umum dengan waktu tempuh ke ibukota Kecamatan Wedung selama 15 menit dengan jarak ± 3 km. Waktu tempuh ke ibukota Kabupaten Demak selama 30 menit dengan jarak ± 10 km, waktu tempuh ke ibukota Propinsi Jawa Tengah (Semarang) selama satu jam dengan jarak ± 25 m.

Keadaan dan Potensi Sumber Daya Alam

Ditinjau dari aspek topologi dan keadaan tanah, wilayah Lokus penelitian merupakan daerah persawahan dan tanah kering. Hal ini mengakibatkan sector pertanian menjadi sector pendukung perekonomian desa yang utama.

Sektor pertanian merupakan potensi sumber daya alam yang besar bagi Lokus penelitian. Keseluruhan lahan yang dimiliki oleh Lokus penelitian 90% merupakan lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan komoditas yang utama yaitu tanaman padi. Selain itu terdapat tanah kering (lahan tegal/ladang) yang belum termanfaatkan secara optimal guna mendukung perekonomian desa.

Keadaan Perekonomian

Secara umum penduduk Lokus penelitian bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini disebabkan karena banyaknya lahan pertanian yang ada di Lokus penelitian. Ketika musim kemarau atau musim paceklik dan musim tunggu panen, banyak penduduk yang beralih mata pencaharian ke sektor usaha lain misalnya perikanan (nelayan) atau pergi ke kota bekerja sebagai buruh indiustri dan bangunan. Disamping itu pemuda-pemuda yang tidak bersekolah atau menganggur mengisi waktu mereka sebagai ”pengedos”. Pengedos merupakan peristilahan bagi buruh memanen padi. Persebaran penduduk berdasarkan klasifikasi mata pencaharian, dapat dilihat pada tabel berikut

Mata Pencaharian Penduduk

No

Mata Pencaharian

Jumlah (jiwa)

1

Petani

276 orang

2

Buruh Tani

1425 orang

3

Buruh/Swasta

22 orang

4

Pegawai Negeri

24 orang

5

Pengrajin

2 orang

6

Peternak

12 orang

7

Nelayan

63 orang

8

Pedagang

14 orang

Sumber: Profil Lokus penelitian Tahun 2006

Jumlah penduduk Lokus penelitian yang berjumlah 3.596 ini dapat dikatakan sebagai potensi pasar yang cukup menjanjikan bagi berjalannya roda perekonomian Lokus penelitian. Karenanya di Lokus penelitian mulai terdapat usaha-usaha yang bergerak di bidang perekonomian seperti produksi dan distribusi barang dan jasa walaupun masih dalam skala rumah tangga. Untuk prasarana distribusi barang dan jasa dapat dilihat dari table berikut:

Prasarana Distribusi Barang dan Jasa

No

Jenis

Jumlah (unit)

1

Pasar

-

2

Toko

3

3

Warung

6

Sumber: Profil Lokus penelitian Tahun 2006

Skema Kelembagaan Lokus penelitian


Sumber: Profil Lokus penelitian Tahun 2006

Analisis Kekuasaan Kepala Desa.

Kalau kita menelaah perkembangan masyarakat dalam hal kepemimpinan kelompok, maka akan kita jumpai kata kunci primus interpares yaitu sosok individu yang unggul diantara individu lainnya dalam suatu masyarakat. Individu ini dapat diandalkan untuk menghalau ancaman dari luar. Kemudian berkembang sistem feodalisme jaman kerajaan dimana status seseorang diperoleh sejak lahir yang sering kita sebut sebagai ascribed status. Fenomena saat ini masih kita jumpai pada kepemimpinan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Perkembangan terkini dalam memilih kepemimpinan adalah dengan sistem demokratis. Masyarakat desa bahkan sudah sejak dari zaman dulu menggunakan sistem pilihan langsung.

Dalam konteks Kepala Lokus penelitian, status ini memang didapat dari kombinasi feodalisme dan demokratis. Berdasarkan cerita dari Kepala desa sendiri, Beliau terlahir dari keluarga paling kaya dan merupakan keluarga “penguasa” di Lokus penelitian. Kekuasaan keluarga kepala Desa berlangsung turun temurun dari leluhurnya. Dalam suatu kesempatan dia bercerita :

“… Keadaaan desa ini aman, saya jamin keamanannya. Hampir semua mayoritas beragama islam. Keluarga saya semua jadi Polisi hanya saya yang jadi lurah. Saya ini jadi lurah sudah turun-temurun. Saya nggak nyombong dulu keluarga say bapak, embah, buyut itu orang yang berpengaruh di Wedung( baca Kecamatan Wedung). Dulu kakek saya lurah, bapak juga lurah. Periode kemarin memang orang lain tetapi setelah itu saya...”

Kekuasaan Kepala Desa juga diperoleh dari sistem yang demokratis yaitu mekanisme pemilihan langsung pada pemilihan kepala desa tahun 2000 (terlepas dari: apakah proses suksesi kepala desa waktu itu demokratis atau tidak).

Hubungan yang terjadi dalam relasi kepala Lokus penelitian adalah hubungan yang asimetris. Dalam hubungan ini posisi antara Kepala Desa dan masyarakat tidaklah sejajar dalam artian posisi formal dan dalam praksisnya kepala desa lebih tinggi daripada masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan desa.

Apabila kita mencoba mengupas sumber kekuasaan Kepala Desa, maka akan terlihat sumber kekuasaan dominan yang dimiliki adalah ekonomi, tradisi, dan militer (baca: pengendalian kekerasan). Berbagai sumber tersebut sebenarnya merupakan “warisan” dari leluhur/keluarga kepala desa.

Leluhur Kepala Desa dianggap sebagai orang sakti orang-orang desa. Dari hasil indepth interview dapat diketahui betapa masyarakat masih menganggap leluhur kepala desa masih berpengaruh dan mungkin kemampuan itu menurun kepada kepala desa. :

...” Aku Yo rak ngerti, duwe ilmu apa to Pak Lurah. Dulu keluarganya punya ilmu, ayahnya Pak Lurah dulu pernah puasa 40 hari di kubur di dalam tanah...”

Hal ini juga menyebabkan masyarakat merasa tidak enak hati ( pakewuh) kalau mau memberikan kritik. Mereka menginterpretasikan kritik merupakan bentuk perlawanan terhadap kepala desa yang berarti juga melawan leluhur kepala desa.

Dulu keluarga Kepala Desa yang mungkin sampai sekarang adalah orang yang paling kaya se-desa sehingga ia bisa mengontrol penguasaan tanah kekayaan material serta buruh. Sumber dari sisi ekonomi berkaitan dengan pemilikan permodalan, tanah, sarana produksi yang berujung pada kekayaan material, penguasaan pekerja, dan hasil produksi yang dibutuhkan masyarakat. Jean Luc-Maurer juga memberikan pernyataan dari hasil penelitiannya di sepuluh desa di Jawa bahwa :

Salah satu sumber utama kekayaan para kepala desa dalam praktik tradisional masih banyak kita jumpai yaitu pemberian kompensasi untuk tugas pemerintahan selama mereka memangku jabatan resmi dalam pemerintahan desa, atau bahkan setelah pensiun , dengan menikamati sebidang tanah bengkok yang luas. ( Jean Luc-Maurer, Antlov, 2001 : 134)

Dibawah ini tabel perolehan tanah bengkok perangkat desa di lokus penelitian. Dapat dibayangkan berapa besar previlage yang diperoleh perangkat desa sebagai imbalan dari atau kompensasi memangku jabatan perangkat desa. Apalagi jika kita lihat proporsi antara kepala desa dengan perangkat desa yang lain.

Tabel Jumlah Tanah Bengkok

No

Jabatan

Luas bengkok

1

Lurah

18,615 (Ha)

2

Carik

8,288 (Ha)

3

Staf Urusan Pemerintahan

3,878 (Ha)

4

Staf Urusan Pembangunan

4,925 (Ha)

5

Staf Urusan Keuangan

4,147 (Ha)

6

Staf Urusan Umum

3,006 (Ha)

7

Staf Urusan Kesra

3,306 (Ha)

8

Modin

4 bahu

9

Kepetengan

4 bahu

10

Ulu-Ulu

1,890 (Ha)

11

Kebayan

4 bahu

12

Kamituwo

4 bahu

13

Bekel

3,440 (Ha)

Sumber: Profil Desa Lokus Penelitian: 2006

(Diolah dan dimodifikasi seperlunya)

Menurut Schemerhorn, kekuasaan ini akan bersifat kumulatif dan mudah bertranformasi. Maksudnya, suatu tipe kekuasaan tertentu cenderung mempegaruhi tipe kekuasaan lainnya, sehinngga dapat membentuk struktur kekuasaan tertentu pula. Dengan demikian kekuasaan di bidang tertentu merupakan dukungan untuk mendapatkan kekuasaan di bidang lainnya. Ada kecenderungan kekuasaan di suatu bidang akan meluas ke bidang lainnya.Timbulnya struktur kekuasaan menyebabkan terjadinya bentuk perubahan yang baru. Berawal dari penguasaan atas pengendalian kekerasan (karena leluhur Kepala desa dipandang orang sakti) akan merambah pada penguasaan akan tanah, para buruh, dan penguasaan kekayaan materi. Kekuasaan kepala desa juga bertransformasi dari kekuasaan yang disebutkan diatas menjadi kekuasaan dalam bentuk kekuasaan politik, hukum, dan diversionary power.

Ditinjau dari unsur-unsurnya, kekuasaan dapat berpangkal dari rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, dan pemujaaan. Dalam kasus di lokus penelitian, kekuasaan kepala desa berpangkal dari rasa takut warga masyarakat desa terhadapnya walaupun sebelumnya berawal dari kepercayaan pada saat pilkades periode sebelumya. Walaupun masih harus dipertanyakan apakah warga desa benar-benar memilih kepala desa karena benar-benar percaya bahwa dia bisa membawa warga desa mencapai kesejahteraan dan cita-cita bersama karena sebelum pemilihan, beliau tinggal di luar kota selama bertahun-tahun.

Ketakutan warga ini ditandai dengan beberapa indikator diantaranya : Jarang sekali ada warga yang berkunjung ke rumah Kepala Desa kaklau tidak ada hal sangat penting dan berhubungan dengan administrasi pemerintahan desa, jarang sekali perangkat desa yang berinteraksi secara langsung di lingkungan kantor kelurahan maupun di rumah, dll.

Dari hasil observasi dan indepth interview mayoritas informan memberikan informasi bahwa semua warga desa takut kepada kepala Desa.

“…Semua orang di desa ini takut sama pak Lurah. Pemuda, karangtaruna, BPD, LKMD, apalagi pamong. Masyarakat sini tidak berani memprotes Pak Lurah. Biasanya hanya bisa nggrundel di belakang Dulu Pak Lurah didukung kiai tetapi sekarang hubungannya agak renggang…”( informan B)

“… Kebanyakan masyarakat sini memang takut pada Pak lurah, kalau kami bukannya takut Mas, tapi malas meladeni. Kalau beda pendapat pasti dikucilkan oleh mereka. Buktinya pemuda desa ini sekarang tidak diurusi sama Pak Lurah...” (informan C)

“…Piye yaaa, kalau Pak Lurah niku nggih wong mriki wedi kabeh. Wong kene ora ono sing wani, sekali digetak do wedi kabeh. Mbiyen tau ono pemuda sing judi. Pak lurah paling anti judi..langsung dilabrak Pak Lurah. Sampe saiki rak ono sing wani judi ning kene , Mas. Terus dulu pas ada ndangdut ana pemuda desa sing tukaran mbek desa sebelah trus ada sidang oleh pak Lurah. (informan D)

Perasaan takut masyarakat desa ini menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan kepala desa. Perasaan takut ini cenderung negatif karena kepatuhan yang dihasilkan adalah kepatuhan karena terpaksa. Kepatuhan semacam ini dilakukan semata-mata agar warga masyarakat terhindar dari kesulitan seandainya tidak mematuhi kepala desa. Dari hasil pengamatan rata-rata hanya ada 1 tamu (yang berasal dari dalam desa lokus penelitian) yang bertamu untuk alasan mengurus surat-surat kependudukan. Jarang bahkan tidak ada penduduk desa yang bertamu untuk membicarakan masalah yang berkenaan dengan pembangunan dan urusan kemasyarakatan desa.

Deskripsi Singkat Kekuasaan Terpusat Kepala Desa

Kekuasaan kepala desa bisa dikatakan bersifat totaliter. Dari hasil observasi dan indepth interview peneliti menemukan beberapa hal yang menggambarkan kekuasaan kepala desa dan cenderung tidak demokratis.

ü Kebijakan yang dihasilkan selalu kebijakan yang diinginkan kepala Desa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selalu rancangan kebijakan yang berasal dari inisiatif kepala desa yang menjadi kebijakan desa. Dari hasil wawancara dengan informan B bisa kita lihat jelas dengan uraian sebagai berikut :

“…Dalam penentuan kebijakan pak Lurah selalu otoriter, Rapat itu pasti ada, tetapi pendapat dan usul pamong tidak pernah dipakai kalau usulnya tidak sejalan dengan keinginan Pak Lurah.

“…Pada saat musrenbang kemarin, perangkat desa mengusulkan dibangunnya saluran irigasi untuk sawah warga. Tapi Pak Lurah rupanya lebih menginginkan pembuatan jalan yang menghubungkan RW 3 dengan RW 2. Alasannya supaya perjalanan dari Dukuh Ruwit ke Dukuh Dinding lebih lancar karena jalan besar( Jl. Wedung-Demak rusak berat). Akhirnya yang goal adalah pembuatan jalan tersebut. Sebelumnya juga begitu Musrenbang yang dulu irigasi juga tidak jadi karena Pak Lurah menginginkan instalasi PDAM. Tahun sebelumya Pak Lurah lebih tertarik pada pembangunan MI milik Yayasan desa…”

Dengan demikian kekuasaaan pembuatan kebijakan benar-benar terpusat pada satu orang yaitu kepala desa. Elemen-elemen yang lain di desa juga tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan desa.

ü Sikap anti kritik

Fenomena kekuasaan terpusat biasanya ditandai dengan sifat-sifat totaliter. Meminjam peristilahn Hans Antlov, bahwa kepemimpinan Jawa itu cenderung “perintah halus pemerintahan otoriter”. Temuan peneliti adalah sikap kepala desa yang anti kritik. Semua orang yang berusaha memberikan usulan, pemikiran, kritik tidak diakomodir. Salah satu contoh konkret adalah: pengebirian Karang Taruna secara “cantik dan tak terlihat”. Argumennya adalah kalangan pemuda beranggapan bahwa pemerintah desa tidak memperhatikan pemuda dalam proses Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) yaitu tidak pernah lagi diajak berdialog setelah mengkritisi kebijakan-kebijakan kepala desa.

Memudarnya Semangat Mengontrol

ü Tidak Berfungsinya BPD

BPD mempunyai peran yang sangat strategis dalam pemerintahan desa. Ibarat konstelasi kekuasaan di pemerintah pusat, BPD adalah DPR-nya. BPD menempati peran sebagai lembaga legislatif di tingkat desa.

Yang terjadi di desa ini adalah BPD tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ada beberapa temuan peneliti yang mengindikasikan fenomena ini. Pertama, tidak adanya mekanisme secara resmi untuk menjaring aspirasi masyarakat. Memang ada rapat yang disebut dengan sebutan selapanan (pertemuan setiap 35 hari sekali menurut hitungan penanggalan Jawa) tetapi hanya menyentuh elit warga di tingkat RW maupun dusun. Idealnya BPD juga melakukan mekanisme penyerapan aspirasi ke seluruh lapisan masyarakat desa karena pada hakikatnya BPD merupakan representasi dari seluruh masyarakat desa.

Yang kedua, isu-isu yang diperjuangkan dalam forum-forum desa ( terutama dalam musrenbang) tidak membela kepentingan dan aspirasi masyarakat, tetapi lebih terkooptasi oleh keinginan kepala desa. Dari hasil wawancara dan indepth interview diperoleh informasi dari pernagkat desa yang sekaligus menjadi ketua kelompok tani sebagai berikut:

“...Bisa dikatakan BPD kurang berfungsi. Untuk aktivitasnya saya terus terang kurang begitu tahu baik itu agenda rapat maupun kegiatan meminta pendapat dari warga. “Jarene” kalau rapat BPD selapan sekali. Pada saat musrenbang juga kelihatan BPD tidak pro dengan kepentingan warga…”

Ketiga, ada kecenderungan bahwa BPD mempunyai legitimasi yang besar dalam kebijakan publik di tingkat desa. Memang benar demikian, tetapi dengan persetujuan dan konsultasi dengan warga masyarakat tentunya. Jika belum, maka dapat dikatakan BPD belum menjalankan fungsinya dengan baik.

Seharusnya ada mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat yuang dalam praktiknya dapat berbentuk formal maupun informal. Sutoro Eko secara sistematis mendeskripsikan tipologi metode penyerapan aspirasi sebagai berikut:

Tabel Tipologi Metode Penyerapan Aspirasi

BPD

Sifat

Level

Personal

Institusional

Informal

Anggota BPD secara personal berbincang-bincang dengan warga arena anjangsan (bertamu, melayat, pesta hajatan, bertemu di jalan, dll

BPD secara kolektif melakukan safari kunjungan dan obrolan informal kepada warga

Seorang warga menyampaikan kepentingan dan keluhannya kepada anggota BPD

BPD secara kolektifmelakukan dialog dengan kelompok-kelompok sosial atau organisasi masyarakat

Formal

Anggota BPD menerima surat dari warga desa yang berkepentingan

Dengar pendapat warga dengan BPD

anggota BPD masuk ke forum-forum komunitas ( kelompok pengajian, PKK, Karangtaruna, Kelompok tani, dll.

Lokakarya atau rembug desa yang teragenda secara sistematis

( Eko, 2004 : 322 dengan modifikasi seperlunya)

Apalagi sekarang ada sektor privat (perusahaan rokok) yang men-sponsori kegiatan-kegiatan rembug desa atau semacamnya. Seharusnya peluang-peluang semacam ini dapat dimanfaatkan oleh BPD dalam upaya meningkatkan kinerja dan menjaring aspirasi masyarakat.

ü Timpangnya PM (Pengendalian Masyarakat) dan PS (Pengawasan Sosial)

Dibutuhkan keseimbangan dan sinergisitas antara PM dan PS dalam pembangunan masyarakat desa. PM merupakan suatu interaksi pemerintah desa yang arahnya ke bawah (masyarakat desa). Dengan demikian, interaksi yang berlangsung merupakan upaya bagaimana program-program pembangunan yang disusun baik hasil kebijakan desa maupun pemerintah di atasnya dapat dijalankan oleh desa yang bersangkutan dengan partisipasi dari warga masyarakat.

PS merupakan interaksi yang sifatnya from people to government. Yaitu interaksi sejauh mana warga dapat berpartisipasi secara aktif baik itu dalam program pembangunan maupun dalam menjalankan mekanisme kontrol trehadap pemerintahan desa.

Yang peneliti temukan di lokus penelitian adalah ketimpangan antara PM dan PS. PM cenderung mendapatkan porsi yang lebih besar dalam interaksi antara warga desa dengan pemerintah desa (Kepala Desa). Implikasi yang ditimbulkan dari kondisi semacam ini adalah menurunnya partisipasi dan kontrol masyarakat desa. Masyarakat desa menjadi pasif dan cenderung menerima apa adanya segala kebijakan dan program-program pembangunan desa.

Ketimpangan ini juga menimbulkan semakin terpusatnya kekuasaan kepala desa. Hal ini terjadi karena tidak ada interaksi dua arah dalam hubungan antara pemerintah desa dengan rakyat desa. PS yang proporsinya sangat kecil ini juga menyebabkan pemerintah desa merasa tidak ada yang mengawasi dan mengontrol segala kebijakan dan tindakan yang dilakukannya.

Voice masyarakat Desa

Voice berbeda dengan vote. Voice jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suara, voice mempunyai maksud yang lebih luas dari vote. Voice merupakan salah satu pilar partisipasi masyarakat selain akses dan kontrol. Voice menunjuk pada hak dan ruang publik masyarakat untuk menyampaikan suaranya (pendapat, usul, saran, bahkan kritik) dalam proses pemerintahan. Vote lebih pada suara masyarakat pada saat pemilihan pejabat publik.

Dalam proses pemerintahan desa, voice merupakan manifestasi partisipasi masyarakat desa terhadap pemerintahan desa. Voice ini dapat berkembang jika kedua pihak sama-sama membuka diri untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan desa. Masyarakat hendaknya secara aktif memberikan pendapat, usul, saran, bahkan kritik kepada pemerintahan desa, sebaliknya pemerintahan desa membuka keran kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan pemikiran mereka.

Jika voice masyarakat sudah ada atau berjalan, maka akan meningkat pada taraf yaitu setiap warga mempunyai hak untuk mengakses dan masuk dalam arena pembuatan kebijakan desa, termasuk juga akses dalam pelayanan publik. Kondisi ini akan membuka peluang kontrol masyarakat terhadap pemerintahan desa. Karena apa? Masyarakat sudah berani mengeluarkan voice dan memperoleh akses dalam kebijakan dan pelayanan publik.

Yang terjadi di lokus penelitian adalah belum terlihatnya voice masyarakat dalam interaksinya dengan elite-elite desa. Hal ini ditandai dengan tidak berfungsuinya lembaga-lembaga saluran aspirasi masyarakat. Ditambah lagi fenomena “takut” masyarakat terhadap orang nomor satu di lokus penelitian. Kondisi ini berimplikasi luas pada tidak adanya akses masyarakat dalam kebijakan dan pelayanan publik. Dalam pembuatan surat-surat kependudukan misalnya, RT/RW juga tidak berfungsi karena pembuatan itu langsung ke rumah kepala desa untuk meminta tanda tangan dan stempel. Hal ini juga berakibat rendahnya kontrol masyarakat karena mereka takut menyampaikan voice dan tidak mempunyai akses terhadap pemerintahan.

Membangun civil society di Desa

Civil society atau sering diterjemahkan sebagai masyarakat madani merupakan wacana yang sering digembar-gemborkan dalam proses demokratisasi. Literatur klasik menyebutkan civil society sebagai sebuah masyarakat politik yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Beberapa pemikir seperti De Tocqueville memberikan penekanan pada pluralitas dan kemandirian masyarakat dalam relasi masyarakat itu sendiri dengan negara.

Akademisi Indonesia yang mengungkapkan konsep civil society seperti Dawam Rahardjo, Adi Suryadi Cula, Nurcholis Madjid yang menunjuk civil society sebagai suatu masyarakat yang berperadaban dan berpegang pada aturan hukum dan norma yang berlaku.

A.S Hikam mendefinisikan civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain voluntary, self-generating, self-supporting, kemandirian berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diikuti oleh warganya.( 1996 : 3)

AAGN. Ari Dwipayana menyebutkan setidaknya ada empat karakteristik ideal civil society di desa ( Dwipayana, 2003: 128) :

Pertama, Perkumpulan warga yang dikelola lebih resmi dan profesional serta mempunyai derajat kemandirian yang tinggi baik dari segi pendanaan maupun dari segi eksistensinya berhadapan dengan negara dan elite desa.

Kedua, perkumpulan warga yang mempunyai semangat pluralisme tinggi yang secara intensif dan semarak mengembangkan trust, dialog, kerjasama baik di dalam maupun luar lingkungan desa sehingga membuahkan agenda riil untuk memberdayakan masyarakat lapisan bawah.

Ketiga, Perkumpulan warga yang semarak mampu melakukan kontrol yang kuat terhaadap pemerintah desa dan BPD, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan desa.

Keempat, Perkumpulan warga yang secara kritis dan kreatif mengembangkan potensi sumber daya lokal baik dalam pengertian ekonomi, dan sosial budaya untuk menjadi kekuatan dalam menghadapi arus kekuatan global dan pasar yang dapat memperlemah posisi tawar mereka.

Dari banyak penafsiran tentang civil society, maka dapat di rumuskan bahwa civil society mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

v Civil Society merupakan aktor non-negara

v Unit-unit sosial yang independen dari intervensi negara.

v Adanya public sphere

v Bersifat kemandirian, swasembada, dan keterikatannya dengan norma dan hukum yang berlaku

Di lokus penelitian, civil society belum mencapai tahapan yang memungkinkan adanya voice, akses, dan kontrol masyarakat desa terhadap pemerintahan desa. Faktor utama yang melatarbelakangi kondisi tersebut ada dua. Yang pertama adalah belum adanya agen pembaharu yang mempelopori pengembangan civil society di desa.

Kedua, kondisi sosial ekonomi yang masih rendah. Mayoritas warga desa disibukkan dengan urusan “perut”. Mereka berangkat untuk menjadi buruh pemanen padi (pengedos) dari pagi sampai sore pada musim panen. Sedangkan pada musim tanam kebanyakan penduduk menjadi nelayan sebagai pekerjaan substitusi mereka. Untuk membentuk civil society di desa dibutuhkan agen pembaharu untuk mempelopori dan menjadi aktor pendorong serta membangunkan awareness masyarakat untuk mampu berpartisipasi aktif ( voice, akses, dan kontrol) terhadap pemerintahan desa.

ü Good Village governance

Membangun good governance di desa merupakan suatu wacana kritis yang perlu mendapat perhatian seluruh elemen masyarakat desa untuk mewujudkan kesejahteraan desa. Dalam bahasa yang sederhana good governance merupakan relasi yang sinergis antara aktor publik (pemerintah), aktor privat (swasta), dan civil society (masyarakat).

Ketiga aktor tersebut harus mampu bekerjasama secara sinergis dan menjalankan peran masing-masing untuk melaksanakan pembangunan desa. Peran dan fungsi masing-masing aktor berbeda. Pemerintah dalam hal ini Kepala desa dan jajarannya merupakan organ eksekutif desa yang diberi wewenang masyarakat desa untuk melaksanakan pemerintahan desa. Arena peran dan fungsi berkisar pada isu-isu sebagai berikut: regulasi, kebijakan, keuangan, pelayanan publik, sosialisasi program pemerintah supra desa, dll.

Masyarakat politik di desa dengan aktornya BPD berkaitan dengan representasi masyarakat, artikulasi kepentingan masyarakat, legislasi, sosialisasi, dan kontrol. Masyarakat sipil yang dapat berbentuk institusi sosial kemasyarakatan atau warga masyarakat sendiri yang berbentuk RT, RW berkaitan dengan keswadayaan, gotong royong, kontrol, dll. Tidak ketinggalan privat sector di desa. Entitasnya dapat berupa UKM, toko, dan badan usaha lainnya yang ada di desa. Mereka mempunyai peran dalam hal penyediaan barang-barang produksi dan distribusinya. Secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambaran Good Village Governance

Pilar GVG

Entitas

Peran

Isu yang berkembang

Negara

Kepala desa, Perangkat desa

Regulasi, kebijakan, Keuangan, pelayanan publik, sosialisasi program pemerintah supra desa, dll.

Akuntabilitas, transparansi, responsivitas, responsibilitas, Effectiveness and efficiency

Civil Society

a.Institusi masyarakat, RT, RW, Karangtaruna

keswadayaan, gotongroyong, kontrol, dll.

Voice, akses dalam pengambilan keputusan dan pelayanan publik

b. BPD

representasi masyarakat, artikulasi kepentingan masyarakat, legislasi, sosialisasi, dan kontrol.

Kapasitas, akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas, transparansi

Privat sector

Pelaku usaha, UKM, Toko dan warung, dll.

penyediaan barang-barang produksi dan distribusinya

Akses kebijakan, Sosial responsibilities

Dengan gambaran demikian kekuasaan terpusat pada salah satu aktor governance dapat diminimalisir. Sebagai contoh kekuasaan terpusat pada kepala desa seperti yang terjadi lokus penelitian kemungkinan dibendung oleh aktor GVG (Good Village Governance) yang lain baik itu dari civil society dan privat sector yang ada di desa.

PENUTUP

Kesimpulan

Studi mengenai kekuasaan, demokrasi lokal, dan good governance merupakan studi yang menarik dalam ilmu sosial. Dinamika kekuasaan yang ada di masyarakat merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan implikasi luas terhadap ribuan bahkan jutaan umat manusia.

Hubungan kekuasaan senantiasa ada dimana-mana, tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga terjadi di aras lokal pedesaan. Dinamika kekuasaan ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap gejala-gejala pemerintahan dan proses demokrastisasi yang sedang dan dalam proses seperti sekarang ini.

Peneliti menemukan fenomena kekuasaan terpusat kepala desa. Wujud dari fenomena tersebut diantaranya: kebijakan yang dihasilkan desa selalu kebijakan yang diinginkan kepala desa, sikap anti kritik dari kepala desa, serta kurang berfungsinya lembaga oposisi di desa. Peneliti juga mencoba mengupas lebih dalam dan mencoba menganalisis dinamika kekuasaan kepala desa yang terjadi di lokus penelitian berkaitan dengan sumber, kegunaan, saluran, dan unsur-unsur kekuasaan kepala desa.

Ditinjau dari sumbernya, kekuasan kepala desa lebih bersifat kultural dan cenderung ascribed status. Kekuasaan kepala desa bisa dikatakan membentuk suatu dinasti atau trah yang terbentuk secara turun-temurun dari leluhurnya. Dalam perkembangnnya memang kekuasaan kepala desa tidaklah statis seperti yang dikemukakan R. H. Schemerhorn yaitu kumulatif dan mudah bertranformasi. Dimulai dari penguasaan militer (kekuasaan fisik) berlanjut menjadi kekuasaan tanah, kekayaan (ekonomi), dan bertransformasi dari kekuasaan yang disebutkan diatas menjadi kekuasaan dalam bentuk kekuasaan politik, hukum, dan diversionary power. Sumber-sumber tadi juga merupakan saluran yang digunakan untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaannya.

Ditinjau dari unsur kekuasaan, kekuasaan kepala desa berpangkal dari rasa takut warga masyarakat desa terhadapnya walaupun semula berawal dari kepercayaan pada saat pilkades periode sebelumnya. Walaupun masih harus dipertanyakan apakah warga desa benar-benar memilih kepala desa karena benar-benar percaya bahwa dia bisa membawa warga desa mencapai kesejahteraan dan cita-cita bersama karena sebelum pemilihan, beliau tinggal di luar kota selama bertahun-tahun. Kepatuhan yang berpangkal dari rasa takut ini akan berimplikasi negatif karena masyarakat patuh/menerima kepemimpinan kepala desa karena keterpaksaan. Peneliti juga menemukan mistis, magi dalam peristilahan Soerjono Soekanto turut memberi andil dalam dinamika kekuasaan desa.

Ada beberapa faktor penyebab pemusatan kepala desa di lokus penelitian yaitu :

v Tidak berfungsinya lembaga kontrol di tingkat desa

v Belum terbentuknya civil society yang mantap.

v Belum adanya voice (hak dan ruang publik masyarakat untuk untuk menyampaikan suaranya yang berupa pendapat, usul, saran, bahkan kritik dalam proses pemerintahan desa)

v Ketimpangan pengendalian masyarakat dan pengawasan sosial

v Adanya moralitas nggrundel (baca: berbicara di belakang orang )

v Adanya moralitas pakewuh ( tidak enak hati) terhadap pemimpin.

Masyarakat desa sebenarnya tidak 100 % pasif. Mereka memang tidak menunjukkan perkataan, sikap, ataupun perbuatan menentang dihadapan penguasa. Namun demikian, orang desa tidak hanya nrimo ing pandum atau menerima nasib apa adanya. Mereka biasanya berani berkata di belakang (nggrundel) dan menunjukkan sikap resistensi dengan protes ala Gandhi yaitu melawan dengan diam tanpa kekerasan.

Yang terjadi dengan masyarakat marginal sebenarnya bentuk penggerogotan hak-hak publik untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Benar adagium yang mengatakan bahwa “ Rakyat hanya merdeka sekali, yaitu pada saat pemilihan umum”

Saran

Menanggapi fenomena yang terjadi di lokus penelitian, perlu adanya semangat seluruh elemen masyarakat baik intern desa maupun masyarakat supra desa untuk meminimalisir kekuasaan terpusat salah satu aktor governance di aras desa. Bentuk aktivitas yang bisa dilakukan adalah mendorong dikembangkannya pendidikan politik bagi masyarakat desa. Pendidikan politik ini jangan diartikan secara ekstrim bagaimana menmberikan pengetahuan warga desa tentang seluk beluk dan tetek bengek politik, akan tetapi lebih pada penanaman awareness masyarakat desa untuk berpartisipasi secara aktif baik itu voice, akses, dan kontrol, dalam pemerintahan desa.

Karena ke-pasif-an dan rendahnya partisipasi disebabkan masih tersisanya korporatisme negara orde baru dan mandegnya kehidupan politik masyarakat desa pada masa-masa yang lalu perlu adanya agen pembaharu yang maju ke depan untuk mempelopori peningkatan kualitas civil society. Dengan demikian, masyarakat bukan saja menjadi objek kekuasaan elit desa saja, tetapi mampu menjadi aktor village governance yang mampu berpartisipasi aktif dalam pemerintahan desa.

Last but not least, Perlu kepedulian aktor governance supra desa dalam pembangunan civil society di aras desa. Masih jarang terjadi anggota DPRD, camat, dan pemimpin daerah yang turba melihat kondisi masyarakat desa. Hal ini secara psikologis menjadikan masyarakat merasa negara jauh dari mereka. Bahwasanya orang desa itu “ Cerak watu adoh ratu” masih ada dalam persepsi masyarakat desa. Setiap masa reses anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau kegiatan non dinas pihak eksekutif penguasa supra desa hendaknya digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat desa.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Antlov, Hans dan Sven Coderoth. 2001. Kepemimpinan Jawa- Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  2. Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Gramedia. Jakarta
  3. Dahl, Robert.1963. Democracy and Its Critics. New Haven conn. Yale university press
  4. Dwipayana, AAGN. 2003. Membangun Good Governance di Desa. IRE Press. Yogyakarta
  5. Eko, sutoro.2004. Reformasi Politik dan pemberdayaan Masyarakat. AMPD Press. Yogyakarta.
  6. Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar dan Aplikasi. YA3. Malang.
  7. Hikam, AS.1996. Demokrasi dan Civil society. LP3ES. Jakarta
  8. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1983.
  9. Moleong, J. Lexy.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung.
  10. Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. :Bandung
  11. Soekanto,Soerjono. 1992.Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta.
  12. Soekanto,Soerjono. 1987.R A Schemerhorn-Masyarakat dan Kekuasaan. Rajawali Press. Jakarta.
  13. Soetarto, Endriatmo. 2006. n Elite Versus Rakyat. Lepera. Yogyakarta
  14. Soetrisno, HR. 2002. Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan.
  15. Thohir, Muhadjirin .2006. Ingin jadi Ilmuwan? Ya Meneliti. Makalah: Semarang
  16. Wiratmoko, Nict. T ( Ed) dkk. 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal. Percik. Salatiga