Akhiri Memilih Kucing Dalam Karung
Oleh
Arif Budy Pratama
Wacana calon indpenden dalam pemilihan kepala daerah semakin mengemuka. Berawal dari pemilihan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD) awal 2007 kemarin dengan terpilihnya Irnadi Yusuf dan M.Nazar (calon independen), isu ini semakin gencar. Terakhir, pemilihan Gubernur DKI Jakarta juga diwarnai dengan munculnya Gerakan Jakarta Merdeka yang menggembar-gemborkan wacana calon independen.
Calon independen disini dimaksudkan sebagai calon perseorangan yang tidak dicalonkan oleh partai politik. Konstitusi saat ini, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Kecuali NAD) mengamanatkan bahwa pencalon kepala daerah harus melalui partai politik dan atau gabungan partai politik. Dengan demikian, pemilihan calon kepala daerah seperti layaknya memilih kucing dalam karung karena rakyat tidak menyeleksi calon mereka dari awal. Partai politiklah yang menentukan calon tersebut.
Munculnya wacana calon independen juga disebabkan mandegnya fungsi partai politik sebagai sarana rekruitmen dan pendidikan politik. Sebagai sarana rekruitmen politik, partai hanyalah kendaraan dalam pencalonan kepala daerah. Tidak peduli apakah bakal calon tersebut kader partai yang berjuang dari bawah atau orang luar yang mempunyai sumber daya besar untuk mencalonkan diri. Hal ini diperparah dengan pola rekruitmen dan seleksi yang tidak transparan dari partai pengusung.
Yang harus diperjuangkan sekarang adalah bagaimana memunculkan figur-figur yang benar-benar berasal dari bawah. Tidak ada salahnya meniru proses pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan mekanisme pengumpulan dukungan dibuktikan dengan tanda tangan dan fotokopi KTP. Proses demokrasi mensyaratkan adanya iklim kebebasan dan otonomi individu untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Wacana calon independen ini merupakan proses akselerasi demokratisasi dan sarana pendidikan politik rakyat.
Arif Budy Pratama, Mahasiswa Administrasi Publik FISIP-UNDIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar