bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Senin, 18 Agustus 2008

kumpulan tulisan jadul

Anak-Anak Garuda

Oleh

Arif Budy Pratama

Masih ingatkah kita cerita tentang anak elang yang tidak bisa terbang karena dibesarkan oleh seekor ayam? Singkat cerita, ada seekor elang yang bertelur. Karena sesuatu hal maka telur itu jatuh di tempat ayam yang sedang mengerami telur-telurnya. Setelah waktunya menetas telur elang itu juga ikut menetas. Walaupun mempunyai bentuk morfologis yang jauh berbeda dengan anak ayam yang lain tetapi anak elang itu hidup bersama dan sudah menganggap dirinya sama dengan anak-anak ayam yang lain. Apa yang terjadi dengan anak elang? Ia menjadi elang yang perilakunya sama seperti ayam, bahkan ia tidak bisa terbang layaknya elang.

Inti dari cerita ini menggambarkan bahwa pola pikir, mindset, paradigma, dan persepsi suatu individu dan pengaruh lingkungan menempati peran yang strategis dalam membentuk perilaku dan perjalanan hidup.

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengganti analogi tokoh anak elang ini dengan anak-anak burung garuda. Mengapa burung garuda? Tidak burung merpati, angsa, atau bahkan burung bangau? Burung garuda adalah lambang negara kita tercinta, Indonesia raya. Anak-anak garuda itu adalah kita, para pemuda Indonesia dalam kondisi sekarang ini.

Kiranya penulis perlu untuk membatasi dan memberi penegasan apa yang dimaksud dengan pemuda itu sendiri. Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi kerancuan pembahasan mengenai pemuda. Pengertian pemuda menurut Profil Pemuda yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia tahun 2005 adalah mereka yang diidealkan sebagai sosok yang penuh energi, semangat, dan kreatif untuk menciptakan semangat pembaruan.

Sedangkan dalam perspektif batasan umur yang dimaksud pemuda adalah penduduk usia 15-35 tahun. Dalam tulisan ini penulis lebih condong menggunakan definisi dalam perspektif umur karena dalam praksisnya sangat sulit menemukan suatu kondisi pemuda yang diidealkan seperti keterangan diatas.

Pemuda Indonesia merupakan aset terbesar bangsa. Jika dilihat dari jumlahnya yaitu 80,7 juta jiwa ( BPS, data Susenas 2004) maka pemuda mempunyai potensi yang besar untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional kita. Itu secara kuantitatif belum secara kualitatif. Secara kualitatif nampaknya masih menjadi tanda tanya besar apakah pemuda Indonesia benar-benar qualified atau bahkan hanya menjadi beban bangsa saja?

Ada banyak permasalahan kepemudaan yang dialami oleh pemuda Indonesia diantaranya: merosotnya nilai keimanan dan ketaqwaan, merosotnya wawasan kebangsaan, rendahnya daya saing dalam menghadapi globalisasi, meningkatnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang di kalangan pemuda, meningkatnya kasus tindak kekerasan yang melibatkan pemuda, meningkatnya kegiatan pergaulan bebas di kalangan pemuda dan masih banyak lagi permasalahan lainnya.

Banyaknya persoalan yang dihadapi dan tantangan ke depan sebenarnya merupakan cambuk bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk terus mengembangkan diri demi kejayaan tanah air kita. Pemuda bagaikan anak-anak elang seperti cerita pada awal tulisan diatas. Pemuda Indonesia belum dapat “terbang” membawa bangsa ini mencapai kejayaan.

Review Arah Kebijakan Pembangunan Pemuda

Dalam hal ini pemuda Indonesia tidak bisa disalahkan 100%. Seperti juga anak elang dalam ilustrasi cerita di atas yang tidak bersalah karena dibesarkan oleh seekor ayam. Jika kita mencoba me-review kembali kebijakan kepemudaan pada masa lalu maka kita akan memaklumi kondisi pemuda Indonesia saat ini.

Yang pertama adalah depolitisasi pemuda. Hal ini merupakan kebijakan yang secara umum diterapkan pemerintah orde baru kepada warga negara agar tidak ikut-ikutan dalam politik. Secara nyata kita dapat melihat apa yang terjadi pada kalangan kampus tahun 70-an dengan kebijakan NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan kampus) dimana mahasiswa dikebiri hak politisnya bahkan hanya sekedar untuk memprotes kebijakan pemerintah.

Kedua, Pendekatan kooptatif. Kebijakan ini merupakan suatu kebijakan bagaimana pemerintah “merangkul” organisasi kepemudaan agar dapat dengan mudah disetir dan dikendalikan oleh pemerintah. Lihat apa yang terjadi dengan karangtaruna dan organisasi-organisasi kepemudaan pada saat orde baru.

Terakhir, less policy. Yaitu kebijakan kepemudaan yang cenderung membiarkan atau cuek terhadap organisasi kepemudaan. Dapat kita amati bagaimana lembaga atau organisasi pemuda kritis dan keagamaan yang kurang diperhatikan oleh pemerintah terdahulu.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan diri, pola pikir, dan paradigma, serta menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemuda Indonesia agar mampu untuk berkontribusi kepada nusadan bangsa. Mari kita sama-sama meyakinkan diri kita dan berkomitmen bahwa kita ini anak garuda bukan anak ayam.

_ Arif Budy Pratama, Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UNDIP

Tidak ada komentar: