bapak ibu saya memberi nama Arif Budy Pratama

Foto saya
i'm just a poor boy, tryin'to face the cruel world.....oh.....wait the world is not always cruel....hehhehe

Kamis, 04 September 2008

Arya Penangsang, Puasa dan Malam Lailatul Qodar

Arya Penangsang, Puasa dan Malam Lailatul Qodar
Oleh
Arif Budy Pratama
Mari sejenak bernostalgia dengan sejarah kerajaan-kerajaan islam di pulau Jawa beberapa abad silam. Alkisah terjadi perebutan kekuasaan antara Pajang dan Jipang. Pajang dipimpin oleh Jaka Tingkir dan Jipang dikomandani oleh Arya Penangsang. Sebelum perang dimulai, Arya Penangsang diberi wejangan (nasihat) oleh gurunya, Sunan Kudus untuk berpuasa pati geni (puasa tidak makan dan minum selama 40 hari).
Singkat cerita Arya Penangsang segera menyepi dan melaksanakan puasa pati geni untuk melawan Jaka Tingkir. Tidak terasa 40 hari dijalani Arya Penangsang dengan mudah. Dia berhasil melawan godaan, halangan dan gangguan selama 40 hari puasa. Pada hari terakhir dipersiapkanlah pesta besar-besaran untuk menyambut Arya Penangsang. Pesta digelar dengan mengundang masyarakat Jipang termasuk pesta minuman keras. Bagai kucing di lepas di lautan ikan asin, Arya Penangsang berpesta pora setelah 40 hari puasa. Sunan Kudus sengaja tidak diundang karena pesta semacam itu pasti dilarang oleh Sunan Kudus kalau beliau tahu.
Apa yang terjadi pada saat duel antara Arya Penangsang dan Jaka Tingkir? Arya Penangsang terkapar dan kalah perang tanding melawan Jaka Tingkir. Puasa Penangsang selama 40 hari sia-sia dan tak berguna. Penangsang menganggap puasa itu adalah proses akhir atau penghabisan dari sebuah upaya mencapai tujuan.
Kita bukan Penangsang dan tentu tidak ingin menjadi Penangsang. Banyak dari para muslim/muslimah yang berpuasa seperti Penangsang, pada saat berbuka puasa setelah adzan maghrib berkumandang, mereka makan, minum dan memanjakan hawa nafsunya sepuas-puasnya dan cenderung berlebihan. Begitu pula pada saat lebaran tiba, banyak orang yang merasa bebas dari kungkungan aturan-aturan puasa. Pada saat berpuasa, hakikatnya kita juga sedang berperang melawan hawa nafsu diri kita sendiri. Ingat, puasa ini hanyalah latihan saja, urgensi outcome-nya adalah bagaimana ruh puasa ini bisa diamalkan pada bulan-bulan setelah puasa. Kalau kita terlena dan berperilaku seperti Penangsang, maka kita hanya menang pada saat latihan saja, saat hari H, kita ini hanyalah pesakitan yang tidak berguna.
Sudah selayaknya, umat yang telah ditatar, dilatih dan ditempa selama 1 bulan akan menjadi lebih baik dalam perilaku yang tidak hanya sekedar simbolik saja, tetapi perilaku yang hakiki. Perilaku ini dapat kita lihat misalnya: seseorang tidak lagi memakan beras teman sekantornya, tidak lagi memakan aspal proyek perbaikan jalan, tidak memotong bantuan sosial, tidak membuat kuitansi fiktif untuk bukti pengeluaran dan lain sebagainya. Manusia alumnus bulan ramadhan menjadi manusia yang altruis, bukan manusia yang egois dan apatis terhadap lingkungannya. Bukan hanya mencintai saudaranya saja, bahkan musuhnya pun dikasihi. Bukankah Al-Masih dan Muhammad mengajarkan yang demikian. Alumnus bulan ramadhan menjadi manusia yang mampu menahan diri dari godaan duniawi yang akan menggerogoti kecintaannya kepada Yang Maha Segalanya. Dia tidak akan menggadaikan ibadahnya dengan pujian orang, dia tidak akan menjual akidahnya demi harta yang kenikmatannya nisbi.
Seorang teman pernah bertanya atau tepatnya sharing. Inti diskusinya adalah : Apakah pada bulan ini kita harus berlomba-lomba beramal? Menjawab pertanyaan ini mudah-mudah sulit, mengapa? Karena jawabannya tidak memerlukan sintesis dan sangat bergantung dari individu masing-masing. Kalau kita memburu amalan karena ingin mendapatkan pahala yang banyak, apalagi pada bulan ini adalah bulan diskon pahala maka menurut hemat saya akan percuma saja. Atau dengan kata lain, jika motifnya mirip dengan motif ekonomi yang diajarkan pelajaran ekonomi pada saat kita SMP dulu, maka akan sia-sia saja seharian berpuasa dan beribadah. Tetapi jika umat berlomba-lomba karena pada masa latihan ini adalah momen upaya mendapatkan ridho ilahi, maka lomba itu adalah lomba yang nikmat dan sangat berguna untuk bekal perang sesungguhnya. Penulis menjadi ingat pada saat kecil dulu, ibu saya pernah memberikan sayembara : Rif, kalau kamu bisa khatam Quran, maka ibu akan memberi uang Rp.30.000,00. Uang itu sejumlah dengan juz yang dibaca. Jujur pada saat itu membaca quran bukan untuk mendalami intisari Quran dan berusaha mengamalkannya tetapi motif ekonomi yang dikedepankan. Bayangkan uang Rp.30.000,00 tahun 90-an adalah jumlah yang tidak sedikit untuk anak desa seperti saya, walaupun sampai akhir puasa menjelang takbiran saya hanya mendapat uang sekitar 20 ribuan saja. Hasilnya dapat diamati sekarang, pada saat peperangan yang sebenarnya saya menjadi muslim yang malas membaca alquran (semoga suatu saat nanti saya berubah).
Menurut syaraf-syaraf otak saya yang sedang mengalami konsleting, ini juga berlaku untuk malam Lailatul Qodar atau malam seribu bulan bahasa nge-trend-nya. Biasanya para muslim tua muda, kaya miskin, pria wanita begadang pada saat sepuluh hari terakhir bulan ramadhan. Siang harinya mereka akan tidur seharian sebagai alasan persiapan perburuan mereka. Katanya, mereka memburu malam yang lebih baik dari ibadah seribu bulan lamanya. Wah, ini juga diskon besar-besaran Gusti Allah untuk “anak-anaknya”. Memang dalam dalil-dalil naqli dikatakan bahwa beribadah di malam lailatul Qodar setara dengan beribadah selama seribu bulan lamanya. Malam Lailatul Qodar ini, konon lain dengan malam-malam biasa. Pada malam itu suasana hening, angin tidak bertiup kencang, langit begitu cerah, bulan dan bintang gumintang serta para malaikat bertasbih dari langit sap 1 sampai sap ke-7. Wow, kapan saya menemui malam seperti ini. Saya yakin tidak ada seorang pun yang tahu kapan malam lailatul Qodar ini menampakkan diri.
Menurut saya, malam Lailatul Qodar ini adalah malam yang istimewa dan hanya akan didapatkan oleh orang yang istimewa pula. Bisa saja seseorang menggenjot ibadahnya pada 10 hari terakhir dan ogah-ogahan pada awal bulan. Wah, ini tidaklah adil menurut hati kecil saya, dan saya yakin Gusti Allah mboten Sare (Tuhan tidak pernah tidur). Malam seribu bulan ini akan didapatkan oleh muslim yang konsisten menjaga ibadahnya demi keridhoan allah dalam seluruh rangkaian latihan akbar se-dunia ini. Yang lebih ditakutkan adalah: jika seseorang terobsesi untuk menjadi pemburu malam Agung ini. Padalah seagung-agung nya malam Lailatu Qodar, lebih agung Penciptanya. Jadi, mari memburu keridhoan Allah pencipta malam Lailatul Qodar, jangan memburu ciptaannya. Setuju? Mengapa tulisan ini saya tulis pada masa-masa awal puasa, bukan pada momennya pada saat prakiraan datangnya Malam Lailatul Qodar? Semata-mata supaya saudara-saudara kita mengharap ridho-Nya secara konsisten dari awal bulan penuh hikmah ini. Tentang kebenaran pemikiran-pemikiran sempit saya ini saya kembalikan pada Sang Raja Diraja, Gusti Allah yang punya alam semesta.

Tulisan ini berawal dari diskusi via YM dengan seorang kawan, sebagian tulisan ini terinspirasi oleh tulisan seorang peneliti masalah-masalah sosial LIPI, M. Sobary tahun 90-an.

Tidak ada komentar: